“Sudah satu minggu ide tulisan ini seperti bayangan dalam kepalaku kawan. Samar. Tapi melekat. Erat.”
Seperti yang sudah diketahui kawan-kawan dekatku, sejak aku dinyatakan baligh menurut hukum positif (klo menurut hukum agama, tentu kau tau sendiri itu kapan, hee) belum pernah aku langkahkan kakiku ke kotak sempit yang ditulis besar-besar dengan huruf-huruf kapital: TPS. Namun, Ingin kukisahkan mengapa pada 9 April kemarin ku “berjuang” untuk ikut Pemilu. Tentu aku memilih bukan karena alasan teknis: konversi dari nyoblos ke nyontreng. Sebab, kemampuanku untuk nyoblos, aku yakin, tidak kalah dengan rata-rata kemampuan kalian.
Aku cinta Indonesia, kawan. Sama seperti sebagian besar dari kalian (ctt: jujur, kukatakan dengan rasa optimis yang sedikit berlebihan). Lebih dari itu, Indonesia telah menjadi bagian identitas diriku. It’s a part of my SELF. Sejak kecil, aku begitu mendambakan Indonesia yang ideal. Aku tak ingin ada orang menangis karena didzalimi. Tak ada orang menginjak orang lain cuma biar bisa makan. Maka demikian marah aku dengan tingkah laku politisi-politisi di Senayan, pejabat-pejabat korup, dan manusia-manusia ‘tega’ lainnya. Namun tiba-tiba tanda-tanda menyadarkan aku. Salah satunya, mungkin pernah kau lihat di Wall Fbku, Mbak Di ‘marah-marah’ ttg sikapku. Perlu ku beri garis bawah, belum pernah Mbak Di seserius itu ‘marah’ dengan sikapku. Pun ketika aku pernah berkata “atau mungkin yang benar shalat ala mereka?” ketika diskusi ttg salah seorang yang berpendirian bahwa shalat wajib itu hanya3 waktu.
Sejak itu, benar-benar ku memikirkan pilihan Golput yang demikian teguh ku pertahankan selama ini. Tiba-tiba kusadar bahwa identitas Indonesia yang selama ini mejadi bagian dari SELf-ku bukanlah realitas, kawan. Itu hanya Indonesia rekaanku semata. Artinya, aku telah menolak identitas riil ke-Indonesiaanku sendiri. Bisa GILA bila ini terus-menerus aku biarkan. Bagi kawan-kawan yang pernah belajar psikologi, kata “GILA” yang barusan kutulis tentu sangat ilmiah bukan? Ku deny bagian SELF-ku. Seperti saat kau melihat sekujur tubuh fisikmu, dan kau lihat tanganmu bernanah. Kau menolak bahwa tangan itu milikmu, lalu kau berkhayal bahwa tanganmu cantik dan elegan. Bisa “GILA” kau kawan.
Maka ku mulai belajar menerima Indonesiaku apa adanya. Menerimu diriku, seutuhnya.
Yogyakarta, 18 April 2009
oleh : Kang Doel Hakim
walaupun sistem agak menyulitkan para santri.. saya juga berusaha ikut nyontreng di rumah.. sekalian kangen2an.. I Love Indonesia too, apa adanya…
BETUL KAWAN…., KITA BAGIAN DARI INDONESIA. SO, ASAL KEMAREN IKUT PEMILUNYA BUKAN KARENA DIKASIH UANG DAN DINIATI IBADAH, INSYA ALLAH DAPATT PAHALA. AMIIN. KAWANMU INILAH SALAH SATU SAKSI HIDUP KEJAHATAN “POLITIK RECEH” YANG MENJADIKAN HATI PEMILIH BERBALIK 180 DERAJAT. ASTAGHFIRULLOOOOOH MASYARAKAT INDONESIA…..
BETUL KAWAN…., KITA BAGIAN DARI INDONESIA. SO, ASAL KEMAREN IKUT PEMILUNYA BUKAN KARENA DIKASIH UANG DAN DINIATI IBADAH, INSYA ALLAH DAPATT PAHALA. AMIIN. KAWANMU INILAH SALAH SATU SAKSI HIDUP KEJAHATAN “POLITIK RECEH” YANG MENJADIKAN HATI PEMILIH BERBALIK 180 DERAJAT. ASTAGHFIRULLOOOOOH MASYARAKAT INDONESIA…..
nyontreng ya? sama kang, 9 april kemarin juga untuk pertama kalinya aku nyontreng. tapi, bedanya aku belum pernah golput.he3.
aku juga setuju, kalo kedzaliman itu harus dihilangkan. Tapi, sayangnya aku belum bisa turun tangan sendiri karena kekuasaan itu belum ada ditanganku, dan karena aku bukanlah “garis keras”. aku adalah Aswaja. he4
karena itu aku ikut nyontreng. semoga indonrdipimpin oleh orang yang siiiip.
nyontreng ya? sama kang, 9 april kemarin juga untuk pertama kalinya aku nyontreng. tapi, bedanya aku belum pernah golput.he3.
aku juga setuju, kalo kedzaliman itu harus dihilangkan. Tapi, sayangnya aku belum bisa turun tangan sendiri karena kekuasaan itu belum ada ditanganku, dan karena aku bukanlah “garis keras”. aku adalah Aswaja. he4
karena itu aku ikut nyontreng. semoga indonrdipimpin oleh orang yang siiiip.