Tulisan ini muncul tepatnya Desember 2004 hasil respon kencangnya perdebatan yang terjadi antara al-faqir dengan beberapa saudara muslim. Moga bermanfaat.
Alhamdulillah sholawatullah wa salamuhu alannabiy wa ‘ala alih wa shohbih wa ba’du
Satu hal yang kutakutkan adalah terjebak dalam perbedaan pendapat yang aku tak berilmu di dalamnya. Afwan, ‘Bahrul Juhhalah’, orang bodoh diibaratkan bagai lautan, dalam hal banyaknya, demikian seperti sering dituturkan dalam kitab kitab klasik masa 500-an hijri. Sebagian Ulama sampai mengistilahkannya, karena begitu banyaknya ke’jahil’an. Zaman kita, kaifa ? Dikatakan, bahwa sebagian haq dan bathil bercampur bak larutan homogen yang sulit dibedakan.
Sekarang, tampaknya orang telah menjadi “‘alim”, ataukah lalim, Mereka berkata kembali ke Quran dan Sunah, mencontohkan para Imam Mutaqoddimiin (ay salafushsholih), Tapi ujungnya…. La madzhaba lahum.
Imam Al-Thahawi, seorang salaf (terdahulu), menciptakan satu risalah dalam hal aqidah islamiyah ala ahl sunnah, Al-‘Aqidah Al-Thohawiyah, jumhur sepakat akan mu’tabar-nya risalah tersebut.
Zaman ini, ada seorang “ulama” yang dengan fahamnya memberi komentar akan risalah tersebut. Satu sisi sang ulama tak mau dikatakan menyimpang dari apa yang disampaikan imam Al-Thahawi, disisi lainnya, sang ulama tak ingin pahamnya ‘terbantahkan’ dengan risalah tersebut. Pada akhirnya, jadilah Usaha menyimpangkan maksud yang ada dalam risalah, terutama apa yang menjadi hujjah yang mengalahkan sang “ulama”.
Pemahaman kita terhadap ‘kembali ke Quran dan Sunnah’ harus kita tempatkan secara tepat. Jangan kemudian kita artikan kondisikan zaman sebagaimana zaman quran dan sunah diturunkan.
Alhamdulillah, diantara ni’mat dari-Nya adalah kita tak sama sekali ragu akan Al-Kitab, Tiada keraguan di dalamnya, lalu bagaimana kita bisa ragu ? kecuali Allah menghendaki kita abadi dalam kesusahan, na’udzu billah.
Semoga Allah merahmati kita, ILMU, satu kata yang mampu mewakili sebuah keluasan yang tak terbendung, Tak akan habis bagi kita dalam mendalaminya. Fadhilah Ilmu adalah mutlak. Sungguh, tiada mampu bagi kita membayangkan rasio dari apa yang belum kita tahu dan apa yang kita tahu. Mungkin akan sama ketika ketika membandingkan antara waktu hidup di dunia dan akhirat. Coba bandingkan antara 100 dengan 1000.000, cukup jauh, apalagi perbandingan antara 70 tahun, atau bahkan 100 tahun dengan waktu selama-lamanya.
Sering kita terjebak dikotomi antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebenarnya, andai saja pembedaan ini ada, maka sungguhlah bahwa ilmu dunia tak terbatas, lalu bagaimana ilmu akhirat. Sedangkan, lihat Al-Dhuha:4 “Akhirat lebih baik daripada Al-Ula (dunia)”
Kita punya akal, haruskah kita tunduk pada Al-Quran (Wahyu) ?, Kesaksian dalam hatimu bahwa Qur’an adalah Haq harus berdasarkan bukti, dan bukti itu akan ditemukan dengan menggunakan akal, kesaksianmu bahwa Muhamad adalah Hamba dan Rasul-Nya harus dengan bukti, dan akal-lah yang menemukan bukti tersebut.
Hati, jika baik, maka baiklah jasad, dan sebaliknya. Hati-lah yang nantinya harus memaksa akal tunduk dan diam, dan itu memang karena konsekuensi keterbatasan akal, karena sebenarnya, adakah yang tak masuk akal dalam Al-Kitab, sedangkan tiada keraguan di dalamnya ? Fulan menjawab, tentu saja ada, jika harus dipaksakan masuk pada akal yang ‘bermasalah’. Dari jawaban fulan, harusnya kita bersyukur karena diberikan anugerah kesempurnaan akal.
Lalu apa sebenarnya kesempurnaan akal ? Dialah akal yang dengannya dapat ditemukan adanya Allah dengan segala kesempurnaan tanpa batas dan dengannya dapat ditemukan bahwa segala sesuatu yang dibawa Nabi (Risalah) adalah haq.
Semua atas pertolongan Allah, semoga kita adalah orang yang dikehendaki atas kebaikan. dan apabila demikian adanya, tiada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur. Dan ternyata, rasa syukur adalah nikmat yang suangat besar dan dengannya akan selalu ditambahkan nikmat dengan tanpa henti. Qul Alhamdulillah ala hadza
Sungguh, diantara kekuranganku adalah tak mampu menyajikan suatu tulisan dengan baik ataupun teratur. Namun, Allah-lah yang memberikan kefahaman, semoga tak ada yang diberi faham yang keliru dari apa yang disampaikan disamping semoga tiada kekeliruan di dalamnya. jika Allah memberimu faham bahwa apa yang kutulis keliru, sampaikanlah padaku, Sungguh Allah Maha Tahu, dan Kita adalah Maha diBeri Tahu.
Salam,
Irfan Antono Al-Tiqoliyy
TPHP FTP UGM Jalan Sosio Justicia 1 Bulaksumur Jogja 55281
iyya …tulisan kang Irfan kembali menyadarkan diri saya, bahwa diri ini ternyata belum apa2… masih harus banyak ngaji. Sungguh keluasan ilmu Ulama Sholeh terdahulu menyadarkan kita akan derajat keilmuan kita…sehingga sudah sepantasnyalah kalau kita ini menjadi pengikut mereka(muqolid). Apakah dengan berani kita ini dengan sendirinya menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits alangkah sombongnya kita bila berbuat demikian…
iyya …tulisan kang Irfan kembali menyadarkan diri saya, bahwa diri ini ternyata belum apa2… masih harus banyak ngaji. Sungguh keluasan ilmu Ulama Sholeh terdahulu menyadarkan kita akan derajat keilmuan kita…sehingga sudah sepantasnyalah kalau kita ini menjadi pengikut mereka(muqolid). Apakah dengan berani kita ini dengan sendirinya menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits alangkah sombongnya kita bila berbuat demikian…
sejauhmanakah Hafalan Qur’an kita, seberapa kuatkah hafalan hadits kita, seberapa hebatkah ilmu alat yang kita kuasai, seberapa halalkah makanan yang kita konsumsi, seberapa lumpuhkah kita dari perbuatan maksiat, seberapa butakah mata kita dari memandang apa2 yang haram untuk dilihat, seberapa bisukah kita dari apa2 yang tak pantas kita ucapkan,seberapa tulikah telinga kita dari mendengar apa2 yang haram untuk didengar… sehinggga menjadi keharusan bagi kita mengikuti para Ulama pewaris Nabi…
sejauhmanakah Hafalan Qur’an kita, seberapa kuatkah hafalan hadits kita, seberapa hebatkah ilmu alat yang kita kuasai, seberapa halalkah makanan yang kita konsumsi, seberapa lumpuhkah kita dari perbuatan maksiat, seberapa butakah mata kita dari memandang apa2 yang haram untuk dilihat, seberapa bisukah kita dari apa2 yang tak pantas kita ucapkan,seberapa tulikah telinga kita dari mendengar apa2 yang haram untuk didengar… sehinggga menjadi keharusan bagi kita mengikuti para Ulama pewaris Nabi…
Keren pak ustadz…
Keren pak ustadz…
koq g ada yg baru neh
koq g ada yg baru neh