Budaya dan Islam, Mungkinkah Berjalan Seiring?

249
Sarasehan

Kesempatan singkat yang bermakna, adalah definisi yang tepat untuk menggambarkan perjumpaan dengan beliau, Dr. Aguk Irawan MN di momen Sarasehan Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah. Sosok sederhana yang bersahaja itu rawuh dan membawakan materinya dengan santai namun sarat makna. Sebagai kyai, sastrawan, sekaligus budayawan, beliau membawakan materi dengan mengombinasikan ketiganya menjadi konstelasi yang padu. Mengupas soal eksistensi Islam dan budaya, hingga bagaimana mengimplementasikan keduanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Eksistensi adalah segala hal yang mengandung ajaran, seperti tuntunan, nilai, doktrin, maupun hukum. Sedangkan Islam adalah aqidah, syariat, dan akhlaq yang di dalamnya termasuk tasawuf. Sebab datang dari Yang Maha Haq, maka Islam merupakan kebenaran valid yang bersifat rigid, kaku, paten, dan tidak menerima kompromi.

Sedangkan budaya, yang merupakan jamak dari kata budi, merupakan eksistensi yang berasal dari manusia. Berbeda dengan Islam, budaya memiliki sifat yang lebih elastis dan fleksibel karena bersumber dari tiap-tiap perspektif kepala yang berbeda. Tidak ada kesepakatan universal. Relativitas ini dilatarbelakangi oleh kodrat manusia sebagai mahluk yang dianugerahi nafsu dan akal dengan kapasitas yang distingtif. Untuk itu, budaya yang ada juga luwes mengikuti arus perkembangan zaman.

Sebab nilainya yang relatif, maka sangat mungkin masing-masing orang memiliki cara berbeda dalam mengekspresikan budaya, meskipun mengusung esensi dan nilai yang sama. Untuk itu, disinilah nilai peribahasa “masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak” perlu diaplikasikan. Dua hal yang sama dalam dua jelmaan yang berbeda ini, tidak boleh dibenturkan. Ketika terdapat benturan, maka opsi terbaiknya adalah beradaptasi, menyesuaikan diri.

Lantas, lebih dulu mana, eksistensi budaya atau eksistensi Islam?

Doktrin agama dibawa setelah adanya peradaban manusia, yang kemudian prosesnya disebut ‘dakwah’. Sedangkan dimana ada masyarakat, maka disana hidup budaya. Maka sebelum Islam datang, setiap masyarakat memiliki nilai budaya masing-masing termasuk masyarakat Arab, tanah pertama Islam membumi. Masyarakat arab waktu itu hidup dengan berbagai budaya yang melekat, termasuk budaya kejahiliyyahan.

Budaya merupakan hal yang dinamis berdasarkan perspektif, sedangkan agama Islam merupakan doktrin pasif yang statis dan paten, maka Islam inilah yang dapat dijadikan patokan. Tidak semua budaya dapat diadopsi dalam syariat. Pondasi dasar untuk memilah apakah suatu budaya dapat diadopsi atau tidak, salah satunya adalah sebuah qoidah yang menyatakan bahwa

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على خلافه

“Asal dari semua perkara adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan pada keharamannya.”

Jika dikontekskan pada tulisan ini, maka asal dari semua budaya adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Untuk itu, selagi budaya tersebut tidak bertentangan dengan syariat, maka dapat disambut dengan tangan terbuka dalam falsafah Islam.

Pada konteks budaya masyarakat Arab, perzinahan, pesta arak, dan pembunuhan terhadap anak perempuan adalah sebagian budaya yang bertentangan dengan Islam. Untuk itu, budaya-budaya tersebut diluruskan dengan syariat yang kita kenal dengan ‘sesuatu yang diharamkan’. Sedangkan budaya syairnya yang eksotis tetap lestari dan diterima, bahkan memiliki takhta tersendiri di kancah internasional.

Nabi datang dengan membawa Islam yang berisi doktrin, tuntunan, dan nilai-nilai. Apakah Nabi serta-merta mengenyahkan budaya yang melekat pada masyarakat arab waktu itu? Justru nabi memperkuat budaya-budaya dengan menjadikannya sebagai syariat. Contoh konkritnya adalah ibadah puasa. Jauh sebelum puasa disyariatkan, masyarakat arab rutin mengalami kekeringan parah di bulan tertentu. Maka pada saat itu, dimunculkanlah aturan berupa larangan untuk minum hingga matahari terbenam.  Kisah inilah, yang kemudian menjadi cikal-bakal disyariatkannya puasa bagi umat Islam.

Metode serupa juga diimplementasikan Walisongo dalam dakwahnya di tanah jawa. Walisongo memandang budaya sebagai warisan, yang kemudian diperkuat menjadi suatu kearifan lokal. Inilah salah satu peran syariat, yaitu memperkuat budaya dengan mengukuhkannya. Di sisi lain, Islam juga dapat menjadi ajang meluruskan budaya-budaya yang keliru, tanpa sekalipun menghapus cangkangnya. Sebut saja nyadran, kenduri, kupatam, ruwahan, serta berbagai bentuk kegiatan keagamaan lain yang berbau kejawen, atau bahkan hal-hal sederhana seperti peci, sarung, dan pesantren, yang masih terus dijaga hingga sekarang yang kemudian menjadi budaya Indonesia yang sarat identitas.

Jadi apakah budaya dan Islam dapat berjalan seiring dan seirama? Dilihat dari sifat-sifat yang menyertainya, barangkali budaya dan Islam bukanlah dua hal yang dapat menyatu. Namun terlepas dari sifatnya yang berlainan, justru budaya dan Islam nyatanya bisa saling melengkapi satu sama lain dengan siasat saling mengukuhkan, meluruskan, atau menentukan garis batasnya.