Sejarah Singkat Taj ‘Ulama an-Nuhat

503
Nadzoman Alfiyah Ibnu Malik

Ibnu Malik. Namanya mungkin sudah tidak asing di telinga banyak orang, apalagi yang mengenyam pendidikan non formal di pondok pesantren. Beliau merupakan mushonnif kitab nahwu paling masyhur berjudul Alfiyah Ibnu Malik. Bagi para santri, mengkaji kitab beliau adalah dambaan tersendiri, karena terdapat beberapa kitab tertentu yang perlu dikaji sebelum sampai pada kitab tersebut.

Memiliki nadhom berjumlah 1002 bait, kitab Alfiyah ini memiliki tantangan tersendiri bagi siapapun yang ingin mengkajinya. Banyaknya materi yang termaktub, menjadikan waktu yang diperlukan untuk mempelajari keseluruhan isi kitab ini tidak sebentar. Butuh waktu minimal dua tahun untuk menyelesaikan isi kitab ini. Umumnya di pondok pesantren yang mengkaji kitab kuning sebagai materi, membagi tingkatan kelas menjadi Alfiyah 1 dan Alfiyah 2. Selain itu, pertimbangan lain yang menjadikan kitab ini perlu waktu yang cukup lama untuk dikaji adalah adanya anjuran agar dapat menghafalkan keseluruhan nadhom Alfiyah yang ada.

Ibnu Malik belia merupakan anak yang rajin dan memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Berbeda dengan teman sebayanya yang masih menikamati masa bermain, beliau sudah giat berguru pada ulama-ulama tersohor di kota kelahirannya, seperti Tsabit bin Khiyar, Ahmad bin Nawwar dan Abdullah as-Syalaubini.

Awalnya, Ibnu Malik sangat tertarik mempelajari ilmu Hadis dan Tafsir di tanah kelahirannya. Namun karena situasi politik yang kurang mendukung, Ibnu Malik harus rela meninggalkan kota kelahirannya Jayyan pada 1246 M dan memilih untuk hijrah ke Damaskus.

Di Damaskus, Ibnu Malik justru mengubah ketertarikannya untuk mempelajari ilmu nahwu dan shorof . Motivasi perubahan ini adalah rasa ingin tahunya tentang fenomena yang ditemuinya dimana struktur bahasa Arab berbeda dari satu daerah dan daerah lain. Padahal, tata bahasa Arab memegang peranan yang sangat penting dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits sebagai supremasi ilmu pengetahuan.

Ulama nahwu yang memiliki nama lengkap Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad ibnu Abdulloh ibnu Malik al-Tha’i al-Jayyani al-Andalusi ini, terlahir di Kota Jayyan yang merupakan salah satu kota utama Andalusia (Spanyol) bagian Selatan pada tahun 1203 M atau tahun 600 H bulan Sya’ban.

Setelah menimba ilmu di kota Damaskus, beliau melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Hallab (Aleppo; Syiria Utara). Di kota ini, Ibnu Malik belajar di bawah asuhan Muwafikuddin Ibnu Ya’isi dan Ibnu Amrien al-Harabi. Ibnu Malik dikenal dan dikagumi oleh para ilmuwan karena cerdas dan berpikiran jernih. Beliau juga mengemukakan sejumlah teori nahwiyyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia yang jarang diketahui orang Syria pada saat itu. Karena kemampuannya membandingkan teori Irak, Syam (Masyriq) dan Andalusia (Maghrib) tersebut, beliau disebut Taj Ulama an-Nuhat (mahkota ilmu nahwu).

Selain karya monumentalnya; Alfiyyah Ibnu Malik, Muhammad Ibnu Malik juga mengarang banyak kitab antara lain, diantaranya Al-Muwashal Fi Nadzm al-Mufashsal, Sabk al-Mandzum wa-Fakk al-Makhtum, Ikmal al-‘Alam bi Mutslats al-Kalam, Lamiyah al-Afal wa-Syarhuha, al-Muqoddimah al-Asadiyah, ‘iddah al-Lafidz wa-‘umdah al-Hafidz, al-‘Itidha fi az-Zha wa ad-Dhad dan ‘irab Musykil al Bukari. Kebanyakan kitab-kitab yang dikarangnya ini mengupas tema-tema linguistik.

Belum ditemukan bagaimana tepatnya kisah akhir hayat dari Muhammad Ibnu Malik. Namun beberapa sejarah mencatat bahwa beliau tutup usia pada usia 75 tahun di Damaskus pada malam Rabu 12 Ramadhan tahun 672 H.

Sumber referensi:

https://maduraindepth.com/alfiyah-ibn-malik-karya-multipel-yang-melegenda https://lbm.mudimesra.com/2015/06/biografi-ibnu-malik-pengarang-kitab.html