Jual beli merupakan kegiatan transaksional yang paling sering di lakukan oleh masyarakat. kegiatan ini di lakukan dengan saling menukarkan barang dengan barang yang memiliki nilai dan melepaskan hak milik dari penjual kepada pembeli atas dasar taraadin (saling merelakan). Seperti halnya dengan kegiatan mu’amalah yang lain jual beli juga memiliki rukun dan syarat yaitu adanya penjual dan pembeli, barang yang di perjualbelikan, dan sighot yang mencakup ijab dan qabul.
Kantin Kejujuran
Dalam perkembangan zaman sekarang ini muncul inovasi baru dalam jual beli yaitu adanya kantin kejujuran. Kegiatan jual beli dalam kantin kejujuran di laksanakan dengan tidak menghadirkan pedagang di dalamnya. Pembeli bebas memilih barang yang ingin di beli kemudian pembayaran di lakukan dengan memasukan uang ke dalam tempat yang disediakan pengelola sesuai harga yang tertera. Kantin kejujuran ini banyak di temukan dalam kehidupan sehari-hari misalnya di sekolah, kampus, stasiun, terminal, dan tempat-tempat umum lainnya.
Namun, dalam pelaksanaanya terjadi problematika terkait rukun dan syarat jual beli yang terpenuhi. Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya bahwa salah satu dari rukun jual beli adalah adanya sighot atau ijab qabul. Sighot atau ijab qabul merupakan sesuatu yang menunjukkan atau menggambarkan taraadin (saling merelakan) dalam bentuk lafadz pada saat transaksi. Kegiatan operasional dalam kantin kejujuran mengandalkan kejujuran dari para pembelinya karena tidak ada pedagang yang menjaga dagangan tersebut. Sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada sighot atau ijab qabul antara penjual dan pembeli. bagaimana hukumnya?
Analisis Jual Beli Mu’athoh
Dalam fiqh mu’amalah transaksi dengan tanpa adanya sighot di sebut dengan mu’athoh. Syekh sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyathi as-Syafi’i dalam kitabnya menyebutkan :
والحاصل المعاطاة : هي أن يتفق البائع والمشتري على الثمن والمثمن، ثم يدفع البائع المثمن للمشتري، وهو يدفع الثمن له سواء كان مع سكوتهما، أو مع وجود لفظ إيجاب أو قبول من أحدهما، أو مع وجود لفظ منهما لكن لا من الالفاظ المتقدمة
“mua’athoh adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli atas harga dan barang yang di hargai (di perjualbelikan). Kemudian penjual menyerahkan barang tersebut kepada pembeli dan pembeli memberikan bayaran harga kepada penjual. Baik transaksi tersebut di lakukan dengan diamnya penjual dan pembeli, atau dengan adanya lafadz ijab atau qabul salah satu dari keduanya. Atau dengan adanya lafadz dari keduanya tetapi bukan lafadz-lafadz yang telah di jelaskan sebelumnya” (I’anah at-Tholibin, Juz 3 hal.7)
Imam Nawawi menganggap bahwa jual beli dengan cara mu’athoh hukumnya sah pada segala hal yang pada ‘urf-nya (kebiasaannya) memang di lakukan dengan cara mu’athoh atau tanpa ijab qabul. Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin miliknya condong kepada bolehnya jual beli secara mu’athoh (tanpa sighot). Karena ijab qabul untuk itu dianggap sulit.
Dalam fenomena kantin kejujuran tersebut, dapat di pahami bahwa barang-barang yang di sediakan memang untuk di perjualbelikan. Hal ini di buktikan dengan adanya harga yang tertera. Harga yang tertera dan pembelian sesuai harga merupakan penggambaran dari kesepakatan antara kedua belah pihak.
Selain itu, hal tersebut juga merupakan bentuk dari taraadin (saling merelakan). Sebagaimana hadits Nabi saw : “انما البيع عن تراض” artinya : “jual beli itu hanya dengan saling merelakan”. Jadi selain dengan lafadz, ridho penjual dan pembeli atau taraadin (saling merelakan) dapat di implementasikan dalam bentuk perbuatan seperti jual beli dengan mu’athoh.
Dengan demikian, jual beli yang di lakukan dengan metode kantin kejujuran adalah sah. Hal ini karena transaksi sudah memenuhi syarat dan rukun yang telah di tentukan.
Wallahu A’lam.