Kenapa Harus Istighfar?

385

 

Tiap-tiap penyakit ada obatnya. Dan obatnya dosa adalah istighfar. Saudaraku, Setiap hari berapa kali kita melakukan dosa? Pernahkah kita menghitungnya? Kita melihat aurat wanita yang bukan mahram, kita mendengarkan gunjingan orang lain dan kita su’udzan kepada Allah SWT. Itu semua merupakan tumpukan dosa kita yang tentunya dicatat oleh para malaikat-Nya. Kenapa kita tidak juga sadar akan dosa-dosa yang senantiasa kita lakukan? Kenapa juga kita begitu menikmati perbuatan-perbuatan yang berbau dosa? Dosa dan Dosa!! Sungguh Allah Maha Melihat atas segala apa yang kita lakukan. Meskipun kita tidak melihat-Nya, akan tetapi Dia melihat kita. Dia lebih dekat dari urat leher yang kita miliki.

Wa idzaa sa alaka ‘ibaadi ‘annii fa inni Qoriib (Dan apabila hamba-Ku bertanya padamu (Muhammad) tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat). Seperti itulah kalam Allah dalam kitab suci Al-Qur’an. Semua kalam atau firman, janji dan ancaman-Nya benar-benar nyata adanya. Bertolak belakang dengan makhluk-Nya seperti halnya manusia—terkadang perkataan dusta diucapkan, janji palsu disebarkan dan bersumpah dengan sumpah serapah yang hanya omong kosong saja. Ia bersumpah tidak mencuri, akan tetapi kenyataannya lain. Ia merampas, mencopet bahkan menggondol harta orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Na’udzubillah min dzalik

Dosa!! Ringan sekali kita melafalkannya.

Memang, manusia itu tempatnya salah dan lupa (innal Insaana makaanul khoto wannisyan). Berbuat salah karena kebodohannya dan lupa karena keteledorannya akan sesuatu. Dari salah dan lupa inilah dijadikan sebagai ajang melakukan dosa; baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama makhluk. Sebenarnya, salah itu bisa menjadi benar tatkala seseorang mengetahui bagaimana cara supaya tidak melakukan kesalahan. Misalnya saja, seseorang yang belum tahu bagaimana cara berwudlu yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam (ilmu fiqih), lalu ia tidak mau belajar kepada ustadz atau membaca buku yang berkaitan dengan hal tersebut—maka kemungkinan besar ia akan terjerumus dalam perbuatan salah. Ini sungguh tidak bisa ditolerir. Lantas bagaimana? Ya tentunya, Ia harus belajar bagaimana cara berwudlu yang baik, baik dengan cara mendatangi seorang guru mengaji atau guru agama Islam yang dianggap mampu mengajarkannya.

Lupa!

Lupa bisa diantisipasi supaya kita tidak lupa. Karena lupa ini sungguh sangat disayangkan dan bisa membuat fatal suatu aktivitas. Apalagi bagi para pencari ilmu, lupa ini akan menjadi bencana yang bisa menjadikan seorang thalib kewalahan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, mahasiswa yang mengerjakan ujian semester di kampusnya. Pada umumnya, kebanyakan mereka belajar dengan sistem SKS (Sinau Kebut Semalam)—sampai tiba di tempat duduknya, Lupa. Ya, ia benar-benar lupa dan tidak bisa mengingat materi yang sudah dibacanya semalaman. Dicoba mengingat-ingatnya lagi pun tidak sampai, padahal jauh-jauh hari sebelumnya—seharusnya ia sudah belajar dengan tekun, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian semester dan berani mengalahkan keinginan (syahwat) bermain dengan teman-temannya.

Namun, ia memilih bergaul dengan rekan mainnya sehingga ia harus menanggung akibat yang cukup berat yaitu belajar semalaman dan lupa di ruang kelas. Belum lagi kalau nilai ujiannya jeblok, ia harus mengulangnya pada tahun depan. Sungguh sangat disayangkan, betapa sedih kedua orang tuanya bila mengetahui hal demikian. Apakah belajar itu hanya dianggap sebagai permainan saja? Mari introspeksi diri kita masing-masing!

Nah, inilah dua hal yang bisa menimbulkan dosa pada diri manusia. Menyakiti kedua orang tua sama halnya menyakiti Allah. Karena pada hakikatnya kebencian orang tua kita, sama halnya bencinya Allah kepada kita, Dia lah dzat yang telah menciptakan kita dan keduanya. Sehingga Allah SWT memerintahkan kepada kita semua untuk memohon maaf, memohon ampun alias beristighfar. Hal ini bisa kita lakukan minimal sehabis shalat fardhu lebih-lebih selesai dari shalat tahajud (Qiyamul lail). Rasulullah SAW memang harus kita akui, beliau adalah seorang hamba yang sangat pandai bersyukur. Sudah dijamin akan sorga Allah, akan tetapi masih saja beliau memohon ampun (beristighfar) kepada-Nya setiap harinya sebanyak seratu kali. Bagaimana dengan kita?

Apabila kita mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh beliau, maka hal itu akan berdampak kebaikan yang kembali pada diri kita masing-masing. Dengan beristighfar; dosa kita akan diampuni oleh Allah, akan mendatangkan rejeki yang tiada disangka-sangka dan akan melapangkan kita dari berbagai kerupekan (kesusahan) duniawi. Dengan kata lain kita akan diberikan jalan keluar atas problematika kehidupan yang kita hadapi.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan hidayah dan rahmat-Nya kepada kita semua. Dengan demikian kita akan bisa merasakan betapa nikmatnya anugrah dan karunia-Nya. Kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan yang berupa kehidupan jiwa dan raga kita, tarikan dan hembusan nafas serta tetapnya Islam dan Iman dalam dada. Amin ya….Robbal’alamin.(Wawan Haryanto)

3 KOMENTAR

Komentar ditutup.