Kisah penyembelihan Nabi Ismail a.s. merupakan sisi historis yang melatarbelakangi pensyari’atan ibadah kurban. Sebagaimana kita ketahui, awal mula pensyari’atan ibadah kurban adalah bermula dari peristiwa Nabi Ibrahim yang di perintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, yaitu Nabi Ismail a.s.. Meskipun peristiwa ini terjadi ratusan bahkan ribuan abad silam, kita tetap bisa mengetahuinya karena kisah peristiwa ini di abadikan oleh Allah SWT dengan jelas dalam firman-Nya Q.S al-Shaffat : 103-113.
Kisah Penyembelihan Nabi Ismail A.S. dalam Al-Qur’an
Dalam Q.S al-Shaffat : 103-113, di ceritakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. menyampaikan kepada anaknya bahwasannya Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih Nabi Ismail. Setelah menceritakan mimpinya tersebut, Nabi Ibrahim meminta pendapat Nabi Ismail tentang apa yang di lihatnya dalam mimpi. Kemudian dengan tenang dan penuh keyakinan, Nabi Ismail menjawab: “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang di perintahkan (oleh Allah) kepadamu, kau akan mendapatiku—insya Allah—termasuk orang-orang yang sabar”.
Singkat cerita, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah tersebut dengan membaringkan Nabi Ismail dan menyembelihnya. Tatkala Nabi Ibrahim melakukan penyembelihan tersebut, Allah SWT menyeru: “Wahai Ibrahim, sudah kau benarkan (dan kau laksanakan) apa yang kau lihat dalam mimpimu itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan (kepadamu) dan juga kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh (perintah penyembelihan ini) adalah benar-banar ujian (bagi Ibrahim, di mana dengannya terlihat dengan jelas siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak)”. Kemudian Allah SWT menggantikan Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.
Dari kisah tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa sejatinya perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail adalah sebuah ujian besar yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim, untuk menguji keikhlasan Nabi Ibrahim a.s.. Kemudian dengan kepatuhan Nabi Ibrahim tersebut terbuktilah bahwa Nabi Ibrahim benar-benar seorang nabi yang ikhlas. Ketaatannya kepada Allah melebihi apapun, termasuk melebihi rasa sayangnya kepada dunia kecilnya, yaitu anaknya sendiri. Sehingga atas keikhlasan dan ketaatannya ini Nabi Ibrahim di juluki sebagai khalilullah (kekasih Allah).
Hikmah Tersirat
Terdapat hikmah tersirat yang dapat di ambil dari kisah penyembelihan Nabi Ismail a.s. ini, di antaranya:
Pertama, mengapa perintah penyembelihan ini di sampaikan melalui mimpi?
Padahal perintah untuk ibadah-ibadah yang lain seperti sholat, puasa, zakat, dan yang lainnya di sampaikan dalam keadaan terjaga. Mengenai hal ini, Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib menjelaskan, ada dua hikmah dari pentaklifan kurban melalui mimpi.
Pertama, bahwasannya perintah untuk menyembelih tersebut merupakan sesuatu yang sangat memberatkan, baik bagi yang Nabi Ibrahim a.s. maupun bagi Nabi Ismail a.s. sendiri. Oleh karena itu, perintah pertama yang di turunkan oleh Allah adalah dalam keadaan tidur (melalui mimpi), sampai-sampai mimpi tersebut membangunkan Nabi Ibrahim karena adanya perintah yang berat tersebut. Selanjutnya mimpi tersebut di perkuat oleh keyakinannya ketika waktu terbangun, sehingga menjadi nyatalah perintah tersebut. Dengan demikian, perintah kurban tidak datang secara sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit atau dengan perlahan-lahan.
Kedua, bahwasannya Allah Swt. menjadikan mimpi para nabi itu benar. Sebagaimana Allah Swt. menjadikan nyata pada mimpi Nabi Muhammad saw. yang memasuki Masjidil Haram, juga pada mimpi Nabi Yusuf a.s. yang melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang bersujud kepada Nabi Yusuf. Di mana, Allah Swt. mengisyaratkan bahwa di kemudian hari, saudaranya yang membencinya akan patuh kepada Nabi Yusuf a.s.. Demikian pula pada mimpi yang di terima oleh Nabi Ibrahim. Mimpi tersebut merupakan benar, yakni perintah Allah Swt. untuk menyembelih putranya.
Kebenaran mimpi para nabi tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menguatkan dalil bahwa para nabi memang merupakan orang-orang yang benar. Baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan bermimpi, mereka para nabi adalah benar. Keadaan tersebut cukuplah sebagai pembuktian bahwa para nabi merupakan orang-orang yang benar dalam segala keadaan.
Kedua, kenapa Nabi Ibrahim bermusyawarah terlebih dahulu bersama Nabi Ismail?
Padahal jelas-jelas Nabi Ibrahim merupakan seorang nabi. Ia dapat secara langsung menjalankan perintah Allah tanpa harus bertanya atau bermusyawarah terlebih dahulu dengan putranya. Mengenai hal ini al-Razi menjelaskan, hikmah dari adanya musyawarah ini adalah untuk menguji putranya, Nabi Ismail, dalam menghadapi peristiwa ini. Supaya kesabaran Nabi Ismail dalam ketaatannya kepada Allah dapat terlihat dengan jelas.
Dengan bukti kesabaran Nabi Ismail tersebut, maka Nabi Ismail telah menjadi qurratu ain (penyejuk mata) bagi Nabi Ibrahim. Karena Nabi Ibrahim telah melihat bahwasannya putranya memiliki sifat hilm yang sangat besar. Nabi Ibrahim juga melihat kesabaran Nabi Ismail dalam mengahadapi sesuatu yang sangat menguji kesabarannya, yaitu menyembelih dirinya sendiri. Dengan kesabaran ini, Nabi Ismail mendapatkan pahala yang sangat agung di akhirat dan mendapat pujian serta kebaikan di dunia.
Demikianlah sekelumit kisah penyembelihan Nabi Ismail serta hikmah tersirat yang terdapat dalam kisah tersebut. Semoga kita semua dapat meneladani kesabaran, keikhlasan, serta ketaatan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s..
Baca juga: Kemeriahan Menyambut Idul Kurban
👍