Pernikahan bagi umat Islam adalah suatu hal yang sangat sakral, mempunyai tujuan yang mulia, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah disyariatkan agama. Adapun tujuan utama pernikahan adalah untuk membentuk keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan cinta dan rasa kasih sayang antara suami, istri, dan anak-anaknya.
Allah berfirman dalam Q.S. ar-Rum [30]:21 bahwa Allah menciptakan istri untuk suami agar suami dapat hidup tenteram dalam membina rumah tangga. Adapun ketenteraman seorang suami dalam membina istri bisa tercapai apabila di antara keduanya terdapat kerja sama timbal balik yang serasi, selaras, dan seimbang. Masing-masing tidak bertepuk sebelah tangan, saling mengasihi, menyanyangi, serta mengerti satu sama lain dengan porsi masing-masing demi tercapainya rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Dari latar belakang di atas penulis ingin menjelaskan bagaimana konsep keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah menurut penafsiran Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah.
Baca Juga :Hidup Manusia dan Segala Konsekuensinya
Term Sakinah Mawaddah wa Rahmah
Dalam kitab al-Mufradat fi Gharibil-Qur’an bahwa kata sakinah secara etimologi berasal dari sakana-yaskunu yang bermakna suatu yang tenang atau tetap setelah bergerak (tsubutu as-syai ba’da taharruk). Sedangkan sakinah menurut terminologi dapat di artikan dengan damai atau tenang dan tentram, sebuah keluarga yang penuh rasa kasih sayang dan memperoleh rahmat dari Allah SWT. Menurut hemat penulis, kelurga sakinah adalah keluarga yang setiap anggotanya merasakan suasana yang tenang, damai, bahagia, dan sejahtera lahir batin.
Adapun kata Mawaddah secara bahasa berasal dari kata dasar wadda-yawuddu-wuddanwawadatan-wa mawaddatan (cinta; kasih; persahabatan) yakni menyukai, senang, mengasihi, menyayangi. Secara terminologi, mawaddah bermakna kelapangan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Ia merupakan cinta plus yang sejati. Ketika mencintai seseorang, di samping terus berusaha mendekati, pasti pernah kesal juga sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi mawaddah tidak, ia bukan sekadar cinta biasa. Jika cinta bisa pudar, tetapi mawaddah tidak sebab hatinya kosong dari keburukan lahir batin yang datang dari pasangan. Ibrahim al-Biqa’i dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfad al-Qur’an menafsirkan mawaddah dengan cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan serupa dengan tampaknya kepatuhan karena rasa kagum dan hormat.
Dalam kamus al-Munawwir, kata rahmah berasal dari asal kata rahima-yarhamu-rahmahan wa marhamatan (kasihan, kasih sayang, rahmah). Ibnu Faris dalam kitabnya al-Maqyis menyebutkan kata yang terdiri dari huruf ra, ha, dan mim pada dasarnya menunjuk arti kelembutan hati; belas kasih; dan kehalusan. Menurut Muhammad Murtadha al-Zabidi, rahmah memiliki dua pengertian yaitu ta’attuf (kasih sayang) dan riqqah (kelembutan). Jadi al-Rahmah berarti kasih sayang dan kelembutan yang mendorong untuk berbuat baik terhadap yang dikasihi.
Baca Juga : Setetes Air Mata Kerinduan Untuk Abah Najib
Penafsiran Sakinah Mawaddah wa Rohmah Menurut Tafsir al-Misbah
Adapun ayat yang menjadi titik tekan dalam penafsiran sakinah mawaddah wa rahmah adalah Q.S. ar-Rum [30]:21:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan kandungan Q.S. ar-Rum [30]:21, beliau menguraikan pengembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat Allah, di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu secara khusus pasangan hidup suami atau istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang dan tenteram serta cenderung kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya terdapat tanda bagi kaum yang berpikir tentang kuasa dan nikmat Allah.
Sebagaian ulama memahami kata أزواج pada ayat ini dan ayat-ayat serupa sebagai istri-istri. Menurut mereka kata إليها menggunakan kata ganti muannats yang menunjukkan perempua dan لكم menunjukkan laki-laki sehingga khitab di sini adalah suami. Pemahaman ini tidak tepat. Kata إليها menunjukkan pada kata أزواج (jamak), yang kita ketahui dalam bahasa Arab jamak mengunakan kata muannats. Di sisi lain, bahasa Arab juga cenderung menyingkat kata-kata, misalnya bentuk mudzakkar sudah mewakili muannats tanpa perlu menyebut keduanya.
Kata أنفسكم adalah bentuk jamak dari nafs yang berarti jenis; diri; atau totalitas sesuatu. Manusia diciptakan dari jenisnya, maksudnya Allah tidak membolehkan manusia menikahi selain jenisnya. Allah tidak membenarkan perkawinan antara lain jenis atau pelampiasan nafsu seksual melalui makhluk lain yang bukan pasangannya. Dalam Q.S. an-Nisa’ [4]:1 Allah menciptakan pasangan manusia dari nafsin wahidah (diri yang satu), hal ini bermakna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu menjadi diri yang satu, yaitu menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, gerak dan langkahnya, bahkan dalam menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya perkawinan di sebut zawaj (berpasangan), di samping di sebut nikah berarti penyatuan ruhani dan jasmani.
Kata تسكنوا berasal dari kata sakana yaitu diam, tenang setelah sebelumnya goncang dan sibuk. Dari sini, nama rumah adalah sakan karena dia tempat memperoleh ketenangan batin. Allah melengkapi setiap jenis kelamin (pria atau wanita) dengan alat kelamin yang tidak dapat berfungsi sempurna jika berdiri sendiri. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bersatunya masing-masing pasangan. Allah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya yang masing-masing ingin mempertahankan eksistensi jenisnya.
Dari sini Allah menciptakan naluri seksual, di mana setiap insan dari hari ke hari memuncak pemenuhannya. Dia akan merasa gelisah, pikiran kacau, dan jiwa bergejolak jika penggabungan kebersamaan dengan pasangan tidak terpenuhi. Maka Allah mensyariatkan perkawinan bagi manusia agar bisa memperoleh ketenangan.
Kata مودة berasal dari akar kata yang terdiri dari wawu dan dal berganda (tasydid) yang mengandung cinta dan harapan. Demikian Ibnu Faris dalam al-Maqayis-nya. Al-Biqa’i berpendapat rangkaian huruf tersebut mengandung arti kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kata ini mengandung makna cinta, tetapi cinta plus-plus. Al-Biqa’i berpendapat cinta yang tampak buahnya dalam sikap dan perilaku mirip dengan kepatuhan karena kagum pada seseorang.
Sebagian ulama menjadikan tahap rahmat pada suami istri lahir bersama lahirnya anak atau ketika pasangan mencapai usia lanjut. Hal itu karena rahmat tumbuh ketika berada dalam keadaan butuh. Dengan demikian, rahmat tertuju pada yang lemah. Ketika masa tua, manusia merasa lebih lebih lemah daripada masa mudanya . Baik mawaddah maupun rahmat merupakan anugerah Allah yang nyata.
Mungkin itu yang bisa penulis paparkan, semoga bermanfaat bagi banyak orang. Wallahu A’lam Bis Showab.
Baca Juga: Kemeriahan Menyambut Idul Adha