Tragedi Karbala : Kesyahidan Husain bin Ali dan Keteguhan Islam di Hari Asyura

2

 

Karbala: Sejarah Darah dan Cahaya

Sejarah Islam tidak hanya ditulis dengan tinta, tapi juga dengan darah dan air mata. Salah satu peristiwa paling mengguncang dalam sejarah itu adalah peristiwa Karbala, sebuah tragedi agung yang terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriah. Di Karbala, Sayyiduna Husain bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ, gugur sebagai syahid, meninggalkan warisan spiritual yang tak lekang oleh zaman.

Karbala bukan sekadar peristiwa politik atau pertumpahan darah. Karbala adalah simbol keberanian, kejujuran, penolakan terhadap kezaliman, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai Islam. Hingga hari ini, Karbala hidup dalam hati umat Islam karena pesan moral yang dikandungnya jauh melampaui zamannya.

Politik: Dari Damaskus ke Kufah

Setelah wafatnya Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, kekuasaan berpindah tangan kepada putranya, Yazid bin Mu’awiyah, melalui sistem pewarisan kekuasaan—sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah Khulafaur Rasyidin. Banyak tokoh besar umat Islam saat itu merasa resah, termasuk Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, dan tentu saja, Husain bin Ali.

Bagi Husain, persoalannya bukan semata politik, tetapi akhlak dan kelayakan moral seorang pemimpin umat. Ia menolak membaiat Yazid, karena masyarakat mengenalnya sebagai pemimpin yang gemar berpesta, sering meninggalkan shalat, dan tidak amanah dalam menjalankan Islam. Penolakan ini menjadi awal mula Tragedi Karbala, sebuah pilihan yang lahir dari nurani dan tanggung jawab terhadap umat.

Husain pun memilih meninggalkan Madinah dan menetap di Makkah. Di sanalah ia menerima ratusan surat dari penduduk Kufah yang menyatakan kesetiaan dan mengundangnya untuk datang memimpin mereka melawan pemerintahan Yazid.

Untuk menilai situasi, Husain mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, ke Kufah. Awalnya, dukungan terhadap Husain sangat kuat. Namun, setelah penguasa Kufah yang baru, Ubaidillah bin Ziyad, menerapkan ancaman keras dan penangkapan massal, rakyat Kufah ketakutan. Muslim bin Aqil pun akhirnya ditangkap dan dibunuh secara tragis.

Perjalanan Sunyi ke Karbala

Husain tetap berangkat ke Kufah, meski telah mendengar kabar syahidnya Muslim bin Aqil. Ia tidak mundur. Husain mengambil keputusan ini bukan didorong ambisi, melainkan oleh moral dan tanggung jawab sebagai ahlul bait—simbol kemuliaan Islam yang tak boleh berdiam saat kebenaran diinjak-injak. Keputusannya menuntun langsung pada peristiwa puncak Tragedi Karbala.

Husain pergi bersama rombongan keluarga dan sahabat—sekitar 70-80 orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Di tengah perjalanan, pasukan besar pimpinan Hurr bin Yazid menghentikannya, kemudian mengarahkan rombongan Husain ke padang Karbala—jauh dari Kufah—dan memaksa mereka berkemah di sana. Lebih dari 30.000 pasukan bersenjata mengepung Husain dan pengikutnya.

Pada tanggal 7 Muharram, pasukan musuh memblokir akses mereka ke Sungai Eufrat. Sejak itu, Karbala berubah menjadi lautan derita – tiga hari tanpa setetes air pun, termasuk untuk anak-anak yang tak berdosa

10 Muharram: Puncak Tragedi Karbala

Tanggal 10 Muharram tiba—hari yang kelak dikenal sebagai Hari Asyura. Di pagi yang panas itu, satu per satu sahabat Husain gugur.
Ali Akbar, putra sulung Husain yang masih remaja, Syahid di tanah karbala.
Abul Fadhl al-Abbas, saudara Husain yang gagah, gugur ketika mencoba membawa air dari sungai di dekat Karbala.
Pasukan musuh tak segan membunuh Ali Asghar, bayi mungil berusia enam bulan, ketika Husain menggendongnya untuk meminta belas kasih. Sebuah panah menghujam tubuh kecil itu hingga meregang nyawa.

Akhirnya, Husain berdiri sendiri di tengah tanah karbala. Tubuhnya luka, kehausan, dan kelelahan. Tapi semangatnya tetap menyala. Ia tetap berdiri ditanah karbala, melawan bukan untuk menang, tapi untuk mempertahankan kemuliaan Islam.

Pasukan Yazid memanah tubuh Husain, menikamnya dengan kejam, lalu menebasnya hingga syahid. Mereka memenggal kepala beliau dan mengirimkannya ke Damaskus sebagai tontonan, sementara membiarkan jasadnya terlantar tanpa dimakamkan. Para wanita Ahlul Bait, termasuk Sayyidah Zainab, mereka tangkap dan arak dengan hina ke Syam sebagai tawanan politik. Kekejaman inilah yang mengukuhkan Karbala sebagai simbol abadi: penderitaan yang melahirkan kemuliaan sejati

Pesan Abadi dari Karbala

Karbala bukan akhir dari Husain. Karbala adalah permulaan makna.
Ia menunjukkan bahwa dalam Islam, kehormatan lebih mulia dari keselamatan, dan bahwa prinsip lebih utama dari kompromi.

Karbala mengajarkan:

  • Bahwa pemimpin tidak boleh hanya diwarisi, tetapi harus layak secara akhlak.

  • Bahwa umat Islam harus berani menolak kekuasaan zalim, meski harus sendiri.

  • Bahwa darah orang-orang saleh akan menjadi cahaya bagi generasi setelahnya.

Karbala dalam Pandangan Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah wal Jamaah menghormati Karbala, mencintai Husain dan Ahlul Bait, namun tidak berlebihan dalam meratap atau mencela sahabat. Bagi Ahlussunnah, Karbala adalah momentum spiritual, bukan semata kesedihan. Kita mengenang Karbala bukan karena kekalahan, tapi karena kebenaran yang dibela di sana.

Pada hari Asyuro, kaum Ahlussunnah juga mengisi dengan puasa sunnah, sebagaimana   Rasulullah ﷺ melakukannya, seperti keterangan dalam kitab Shahih al-Bukhari, Kitab Shaum (Puasa), Hadis Juz 1 no. 2004 :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:
“قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.”

Artinya:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
“Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka beliau bertanya:
Hari apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Ini hari baik; hari ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa berpuasa pada hari itu.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 2004)

  • Keutamaan Puasa Hari Asyura (10 Muharram)

📚 Hadis dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya.”

(HR. Muslim )

  • Anjuran Puasa Tasu’a (9 Muharram) Bersama Asyura

📚 Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa juga pada hari ke-sembilan.”

(HR. Muslim, no. 2505)

Para ulama menjelaskan bahwa maksud dari puasa pada hari ke-sembilan (Tasu’a) adalah untuk menyelisihi praktik orang Yahudi, yang hanya berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) saja, dan sekaligus untuk menguatkan kehati-hatian dalam penanggalan.

Kita dan Karbala Hari Ini

Karbala bukan sekadar sejarah. Ia adalah cermin bagi nurani umat.
Hari ini, Karbala hadir di mana saja:

  • Ketika jabatan mengorbankan kejujuran.

  • Ketika hukum tunduk pada uang.

  • Ketika rasa takuku membungkam  suara kebenaran.

  • Ketika umat diam, padahal tahu yang terjadi adalah salah.

Husain mengajari kita satu hal : bahwa kebenaran harus diperjuangkan, bukan dimenangkan. Dan kadang, perjuangan itu artinya kehilangan segalanya kecuali Tuhan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini