Mengejar waktu tidak selamanya tepat. Kadang waktulah yang memilihkan saat terbaiknya. Bersama Abah Najib hal itu sering kualami. Sebagai santri yang mengabdi menjadi sopir, perjalanan keluar kota sudah lahap kunikmati. Bukan hanya soal mengantarkan beliau sampai tujuan, tapi peristiwa yang terjadi di sepanjang jalan sering mengajarkanku tentang makna kehidupan.
Suatu ketika Abah dawuh untuk mengantarkan beliau ke suatu acara di Kebumen. Acara mulai pukul 14.00 siang, tapi sampai pukul 12.00 Abah masih terlihat santai. Padahal aku sudah siap beberapa jam sebelumnya.
Tepat pukul 12.15 beliau mengajak berangkat. Sepanjang perjalanan hanya jalan dan jam tangan yang menjadi perhatianku. Waktu sudah mepet, sedang jarak yang ditempuh masih jauh. Semoga saja aku bisa mengantarkan Abah tepat waktu.
Sampai Masjid Bapangsari Purworejo, Abah mengomando agar mobil dibelokkan untuk mengerjakan sholat dzuhur. Kulirik jam tangan, pukul satu tepat. Terburu buru aku kerjakan sholat, agar tidak memakan waktu lama. Tapi ternyata selesai sholat bukannya langsung tancap gas, Abah malah mengajak ngopi sambil merokok. Aku yang hanya bisa pasrah, berjalan mengikuti Abah dari belakang dengan perasaan cemas. Kopi yang disruput tak lezat, rokok yang dihirup pun tak sedap. Sedang Abah terlihat benar menikmatinya tanpa rasa khawatir sedikitpun.
“Ayo, Cung!” kata beliau tiba-tiba. Padahal rokok keduanya belum juga dihabiskan.
“Nggih, Bah!” jawabku cepat lalu setengah berlari menuju mobil. Sudah jam 14.30 gumamku dalam hati. Ini berarti tinggal 30 menit waktu tersisa untuk sampai di Ngaliyan Kebumen, yang berjarak kurang lebih 40 km. Dalam kondisi normal, biasanya jarak segitu ditempuh tak kurang dari satu jam. Mengingat hal itu, perasaan cemas di hati menjadi-jadi. Mungkinkah bisa sampai tepat waktu?
Telepon genggam Abah berdering tak henti-henti. Pertanda bahwa yang punya hajat sudah risau menanti.
“Terusna wae acarane. Aku meh tekan” Abah menjawab pertanyaan dari seberang telepon.
Level kekhawatiranku melonjak tinggi. Bagaimana mungkin “meh tekan” sedangkan jaraknya masih puluhan kilometer? Dalam situasi jalan raya yang padat begini, hampir mustahil kami tiba dengan cepat.
Seluruh kemampuan mengemudi kukerahkan. Fokus kutingkatkan. Doa semakin khusyuk kupanjatkan. Puluhan kilometer telah dilalui. Jarak semakin dekat. Jantung berdetak semakin rapat. Memasuki kampung di mana acara terselenggara, terdengar sayup-sayup bunyi perangkat sound system. Meski pelan, gendang telinga menangkap suara pembawa acara yang mempersilahkan Kyai Najib memberikan mauidhoh hasanah. Mobil semakin laju. Dan tepat ketika jamaah mengumandangkan sholawat badar sebagai penghormatan untuk kyai, mobil berhenti di depan pintu masuk acara. Dengan santainya Abah turun kemudian langsung naik ke podium, meninggalkanku yang terkapar sambil menyusut keringat sebesar biji jagung.
Selesai acara kami sempat mampir ke beberapa tempat. Salah satunya ke rumah Pak Dedi, salah seorang pengusaha besi. Cukup lama kami menunggu karena kebetulan yang punya rumah sedang pergi. Malangnya, hujan turun lebat. Aku sedikit kedinginan sedangkan rokok untuk penghangat badan habis.
“Nyoh joinan rokok!” Abah mengulurkan sebatang rokok yang sedang dinikmatinya.
“Mboten, Bah” jawabku cepat.
“Udan-udan ngene hawane adem. Rokok kari siji Joinan wae rapopo ben awake anget.” Abah sedikit memaksa sambil meninggalkan rokok di tanganku. Agak canggung kupegang rokok itu. Lama aku berpikir. Tapi melihat kesungguhan Abah menawarkan, akhirnya mau juga. Lagi pula, kapan lagi joinan rokok sama beliau. Batinku sambil tersenyum.
Setelah bertemu dengan Pak Dedi dan keperluan Abah selesai, segera kami pamit pulang. Tak disangka mobil mogok di tengah perjalanan. Aku segera turun untuk memeriksa kerusakan mobil. Tapi ternyata kalah cepat dengan Abah. Beliau telah lebih dahulu turun dan mengecek mesin dengan cepatnya. Setelah melihat-lihat dan memperkirakan bagian yang error tanpa sungkan beliau masuk sendiri ke kolong mobil. Tidak memerintahkan aku saja. Aku malah disuruhnya duduk di belakang kemudi. Meskipun kerusakan mobil cepat teratasi, tapi kesan yang dalam akan terus kubawa sampai mati.
….
Intan tak akan pernah menjadi batu walau menyatu dengan batu-batu lain. Dia tetaplah intan yang dikagumi banyak orang meskipun tidak merasa bahwa dirinya mulia. Begitu pula orang besar, dia akan tetap besar meskipun bersikap seperti orang biasa. Tanpa perlu menunjukkan kebesaran dan tidak pula merasa lebih besar dari yang lainnya. Kebesarannya akan terlihat sendirinya.
Sumber: Salah satu cerita santri ndalem Muhammad Abdul Aziz yang kemudian ditulis oleh Lidyana Istianti dengan judul Pelajaran dari Jalanan dalam Buku “Mengenang dan Meneladani KH. Najib Salimi”
Baca juga : Setetes Air Mata Kerinduan Untuk Abah Najib