Pada zaman sekarang, seringkali ditemukan orang-orang yang mengkafirkan atau membid’ahkan orang lain karena dianggap tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan, banyak diantara mereka menganggap bahwa amalan-amalan yamg tidak tertulis secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan Hadits, berarti tidak berdasar dan tidak ada dalil tertulisnya. Pemahaman seperti inilah yang dinamakan sebagai pemahaman tekstual, yaitu pemahaman yang hanya berdasarkan pada teks-teks tertulis secara gramatikal dan linguistik. Pemahaman ini bisa diartikan sebagai pemahaman eksternal karena hanya dilakukan dengan cara mengartikan teksnya secara langsung tanpa mengetahui hal-hal yang melatarbelakanginya. Padahal, dalam mempelajari dan memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak cukup hanya dilihat dari teksnya, melainkan juga harus diimbangi dengan pemahaman secara kontekstual. Pemahaman kontekstual sendiri adalah pemahaman yang mengacu pada deskripsi atau kata-kata tambahan yang menjelaskan tentang redaksi yang tertulis.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadits, memang terdapat beberapa redaksi yang bentuk tekstual dan makna konstekstualnya selaras. Namun, hal ini tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Pada faktanya, banyak redaksi yang tidak cukup hanya dipahami secara tekstual, karena dapat membelokkan makna yang dimaksud dan menimbulkan kesalahpahaman. KH Asy’ari Abta dalam ceramahnya pada acara rutinan Majelis Malam Selasa Pon Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta (12/12/22) mengilustrasikan hal tersebut melalui QS Al-Jumu’ah : 10, yang berbunyi:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Redaksi tersebut memerintahkan manusia untuk bertebaran di muka bumi setelah selesai sholat. Melalui ayat ini, golongan ‘tekstual’ menyimpulkan bahwa wiridan tidak ada dalilnya sebab bertentangan dengan ayat ini. Padahal, para ulama ahlussunah memahami bahwa ayat ini diturunkan setelah adanya ayat lain, yaitu:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah ayat 9).
Salah satu Qoidah Fiqih menyebut bahwa perintah yang jatuh setelah larangan itu hukumnya boleh, اَلاَمْر ُبَعْدَالنَهْيِ للاِباَحَة. Maksudnya, perintah yang jatuh setelah adanya larangan, bukan menunjukkan pada kewajiban, melainkan hanya menunjukkan pada kebolehan.
Larangan yang dimaksud disini adalah larangan jual beli ketika ada seruan untuk melaksanakan sholat Jum’at. Kemudian ayat yang turun selanjutnya, berisi perintah untuk bertebaran di muka di bumi. Inilah yang menjadi dasar ulama ahlussunah mengambil dalil bahwa perintah “bertebaran di muka bumi” adalah suatu hal yang hukumnya ibahah dan bila tidak melakukannya ataupun menggantikannya dengan kegiatan lain seperti wiridan, hukumnya adalah boleh.
Urgensi dari wiridan sendiri adalah dzikir yang dibaca secara terus-menerus (rutin). Dalil yang mendasari kebolehan wirid, tercantum dengan jelas pada potongan ayat وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا (dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya). Hal ini membuktikan bahwa golongan tekstual kurang tepat dalam menyimpulkan bahwa wiridan tidak memiliki dasar.
Selain contoh kasus di atas, pelajaran selanjutnya yang dapat diambil dengan melihat fenomena ini adalah; jangan buru-buru menyimpulkan sesuatu dari apa yang terlihat di luarnya (eksternal) tetapi imbangilah dengan konteks-konteks yang mendukungnya (internal), supaya pemahaman yang kita dapat adalah pemahaman yang utuh dan tidak menyimpang.