Munaqosyah Alfiyah Santri Salaf: Candu atau Jejak Istiqomah?
Di banyak pesantren salaf, santri menjadikan munaqosyah Alfiyah sebagai “ritual intelektual” yang tidak hanya mereka tunggu-tunggu, tetapi juga—secara diam-diam—mereka perebutkan. Santri senior membaca bait-bait Alfiyah Ibn Malik dengan kefasihan dan kefakihan. Ustadz atau kiai langsung menyambutnya dengan tanya-jawab cepat. Suasana pun penuh ketegangan yang bercampur antara gugup, bangga, dan semangat prestise.
Tapi pertanyaannya sederhana:
Apakah semua ini benar-benar bagian dari cinta ilmu, atau justru candu pada pengakuan?
Tradisi Munaqosyah dalam Santri Salaf
Alfiyah bukan kitab ringan. 1002 bait tentang gramatika Arab, penuh i’lal, qiyas, dan khilaf antar-nahwiyyin. Mampu membaca dan memahami bait-baitnya sudah istimewa, apalagi mempresentasikannya dalam munaqosyah di hadapan publik pesantren.
Tradisi ini, secara positif, menunjukkan bahwa santri memiliki akses pada warisan keilmuan tinggi. Tak semua pelajar agama di luar pesantren bisa memahami kaidah-kaidah nahwu yang disampaikan dalam syair, apalagi mengurai satu bait dalam hitungan menit.
Sebagaimana disebut dalam bait Alfiyah:
كَلامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ كَاسْتَقِمْ
Wa kalāmunā lafẓun mufīdun ka-staqim.
“Ucapan kami adalah lafaz yang memberi faedah, seperti kata ‘istaqim’.”
Bait ini sering jadi simbol awal perjalanan santri dalam memahami nahwu. Dan memang, tak jarang semangat itu mewujud dalam jargon angkatan, seperti angkatan kami dulu yang mengusung:
“Istiqomah fi Diroasah wal Ukhuwah” – Angkatan Alfiyah Mudawamah
Sebuah komitmen angkatan untuk terus belajar dan menjaga ukhuwah hingga akhir perjalanan.
Kami mulai dari nol—membaca dengan terbata, salah mengurai, bingung membedakan maf’ul bih dan hal. Tapi seiring waktu, bait demi bait tidak hanya menjadi hafalan, tapi pijakan berpikir.
Angkatan sebelum kami pernah menulis: “Alfiyah Itu Candu”. Dan benar, kami paham maksudnya. Tapi bagi kami, munaqosyah sederhana yang kami jalani justru menyimpan perjuangan yang tidak sederhana. Tak perlu panggung besar, karena ujian terbesar adalah bagaimana tetap istiqomah meski tak disorot siapa-siapa.
Antara Keistimewaan atau Sekadar Candu
Namun realita tidak selalu seideal konsep. Dalam beberapa kasus, munaqosyah justru berubah menjadi panggung pencitraan.
Santri berlatih bukan untuk memahami, tapi untuk tampil.
Bait dibaca fasih, tapi makna kabur.
Jawaban cepat, tapi hanya hafalan setengah paham.
Sebagian bahkan merasa “kurang santri” jika belum pernah munaqosyah Alfiyah.
Padahal saya waqaf fi’lan wal asbab, tanpa makna dan praktik, hanya menjadi suara yang kosong.
Maka di sinilah pentingnya muhasabah. Apakah semangat kita muncul karena ingin ilmu nahwu yang benar-benar hidup, atau karena ikut arus candu “munaqosyah” demi status intelektual semu?
Munaqosyah Alfiyah Santri Salaf: Makna dan Niat
Jawabannya bukan pada acara munaqosyah itu sendiri, tapi pada niat dan proses yang menyertainya.
Jika bait-bait Alfiyah kita pelajari karena ia membuka jalan memahami Al-Qur’an dan Hadis dengan benar, maka ia tetap istimewa.
Tapi jika ia hanya jadi kebanggaan untuk menunjukkan bahwa “saya bisa tampil seperti mereka”, maka jangan-jangan kita sudah lupa: ilmu bukan untuk dipamerkan, tapi untuk diamalkan.
Sebagaimana disebut dalam Ihya’ Ulumuddin:
“لَا تَقْتَصِرْ عَلَى ظَاهِرِ الْعِلْمِ وَأَنْتَ تَتْرُكُ مَقْصُودَهُ”
Jangan puas hanya dengan tampilan luar ilmu, sementara engkau meninggalkan tujuannya.
Munaqosyah Alfiyah memang bisa candu. Tapi ia juga bisa jadi tonggak istimewa. Kuncinya bukan di bait, bukan di acara, tapi di hati dan niat para santri.
Dan bagi kami yang pernah melewati fase itu—dari nol, terbata, hingga paham—kami tahu: perjalanan ini bukan main-main. Bait demi bait bukan sekadar syair, tapi bekas jerih payah, tangis tengah malam, dan ukhuwah yang menempel kuat dalam ingatan.