Penolakan Hadis, Emangnya Ada Hadis yang Ditolak?

45
Islamic books on a shelf, Morocco, Tetuan
 

Ketentuan Penerimaan dan Penolakan Hadits-Dalam penentuan penerimaan atau penolakan sebuah riwayat, digunakan ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil. Ilmu al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Dalam penggunaannya, ilmu ini juga menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat dari berbagai ulama.

Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikan sebagai berikut :

هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها

“Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi penerimaan atau penolakan periwayatannya”.

Al-Jarb menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang periwayat hadis atau biasa disebut perawi yang dapat menjatuhkan keadlahannya, dan merusak hafalan serta ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkan hingga kemudian terjadi penolakan hadis. Sedangkan al-ta’dil adalah orang yang tidak tampak padanya sifat-sifat yang dapat merusak agama dan perangainya, sehingga berita dan kesaksiannya dapat kita terima sebagai suatu kebenaran.

Ghibah yang hukumnya boleh, emangnya ada?

Pada dasarnya, ajaran Islam melarang seseorang membicarakan apalagi menyebarkan aib orang lain, yang sering disebut dengan istilah ghibah. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Hasbi Ash Shiddieqy ketika mengutip dari al-Ghazali dan an – Nawawi, ada 6 macam ghibah yang hukumnya boleh, yaitu :

  • Karena teraniaya; orang yang teraniaya boleh membicarakan penganiayaan yang oranglain lakukan untuknya.
  • Meminta pertolongan untuk memberantas kejahatan.
  • Meminta fatwa (petuah, nasihat, jawaban pertanyaan tentang hukum).
  • Untuk menghindarkan manusia dari kejahatan.
  • Orang yang medapatkan kritik, yaitu orang yang terang-terangan melakukan bid’ah dan keburukan.
  • Memberikan informasi yang benar.

Berkaitan dengan penolakan dan penerimaan hadis, dalam golongan ulama terkadang juga terjadi pertentangan terhadap seorang perawi ulama, yang satu menta’dilkan sedangkan yang lain mentajrihnya. Apabila permasalahannya seperti itu, maka dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pertentangan ulama yang kita ketahui sebabnya dan pertentangan yang tidak kita ketahui sebabnya. Contohnya sebagai berikut :

  • Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi ketika perawi masih fasik (keluar dari ketaatan terhadap Allah Swt) , sedangkan sebagian ulama mentajrih perawi tersebut karena mengatahui perawi tersebut setelah ia bertaubat.
  • Terkadang pula ada yang mengetahui perawi yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi tersebut sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi yang dhabit sehingga mereka menta’dilnya.

Teori dan kaidah al-jarh wa at-ta’dil

Para ahli hadis menyusun sebuah teori dan kaidah al-jarḥ wa al-ta’dīl yang dapat mereka jadikan sebagai bahan pertimbangan dalam meneliti sebuah hadis, yaitu:

  • Jika seorang perawi medapat penilaian terpuji oleh kritikus dan mendapat penialian tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah pujian. Alasannya, karena sifat dasar dari seorang perawi adalah terpuji, sedangkan sifat tercela adalah sifat yang datang kemudian. Pendukung pendapat ini adalah al-Nasā’ī (w. 303 H/915 M).
  • Jika seorang perawi medapat penialian tercela oleh kritikus dan mendapat penilaian terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah celaan. Alasannya, karena kritikus yang memberikan celaan lebih paham terhadap pribadi perawi yang ia cela. Selain itu, yang menjadi dasar untuk memuji seorang perawi adalah persangkaan baik dari kritikus dan etika dalam jarh wa Ta’dil.

Sebab-sebab yang menjadikan aibnya seorang perawi

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi dalam Zubaidillah (2018). Sebab-sebab yang menjadikan aibnya seorang perawi itu ada 5 macam, yaitu :

  • Bid’ah, yaitu melakukan tindakan tercela yang keluar dari ketentuan syari’at.
  • Mukhalafah, ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat.
  • Ghalath, yaitu banyak keliruan dalam periwayatannya.
  • Jahalah al-hal, yaitu tidak dikenal identitas perawinya.
  • Da’wa al-inqitha, yaitu diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi dan mentadliskan suatu hadis.

Adapun syarat seorang kritikus :

  • Orang yang alim (berilmu)
  • Orang yang bertaqwa
  • Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
  • Orang yang jujur
  • Belum pernah dijarh
  • Menjauhi fannatik golongan
  • Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan.

Manfaat mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil

Manfaat mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil, antara lain sebagai berikut:

  • Ilmu ini dapat menjadi bahan untuk mengetahui hadis-hadis yang mendapat penerimaan dan penolakan dari perawi-perawi hadis yang terpercaya, tetapi disinyalir kurang atau tidak normal pikirannya pada akhir hidupnya, mungkin karena telah lanjut usia atau sebab-sebab lain. Jika sudah diketahui bahwa hadis ini dari orang yang terpercaya tetapi tidak normal pikirannya, maka hadis itu tertolak.
  • Dengan ilmu ini, kita dapat mengetahui hadis yang datang dahulu dan hadis yang datang kemudian. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa salah satu dari dua hadis tersebut sebagai nasikh dan yang lain mansukh, apabila keduanya terdapat pertentangan maka perlu dikompromikan.
  • Dapat pula sebagai bahan untuk mengecek bersambung atau tidaknya suatu hadis, karena terkadang diantara para perawinya ada yang berbuat dusta, ada yang berbuat tadlis dan juga ada yang mengirsalkan hadis.

                                                                                           Editor : Sofi