“Apalanmu wes tekan opo, Nduk?”
Pertanyaan yang telak menelanjangi rasa percaya diri seorang santri. Kelas awal maupun akhir sama saja. Santri kelas awal akan menjawab dengan malu-malu kucing, “He he, nembe dugi jurumiyyah,Bah.” Sedang santri kelas akhir ketar-ketir menjawab, “ Sampun dugi Alfiyah, Bah” itu yang keluar lewat lisan dilanjut “Tapi dereng paham-paham”. Tidak apa, ada perisai yang senantiasa melindunginya yaitu semboyan ” “الفهم بعد الحفظ. Pemahaman datang setelah hafalan.
Hafalan atau muhafadzoh merupakan metode pembelajaran yang digunakan oleh mayoritas pondok pesantren yang bertakhasus pada kitab. Hafalan ibarat mahar yang harus dibayarkan oleh setiap santri jika ingin naik ke kelas selanjutnya. Begitu pula di Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah, santri diwajibkan menghafal secara mutlak untuk kemudian sunnah muakkad mengikuti ujian sertifikasi hafalan sekali duduk yang diagendakan oleh Dewan Pendidikan.
Berbicara tentang hafalan, pernahkah terbesit dalam pikiran kalian mengenai “Siapakah dalang di balik tradisi hafalan nadzam ini sehingga kita semua merasakan nikmatnya menghafal?”
KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau yang kerap disapa Gus Baha pernah menceritakan sejarah adanya tradisi hafalan di Nusantara. Beliau mengatakan bahwa asal muasal terbentuknya tradisi hafalan ini dari Sayyid Umar Syatha’. Sayyid Umar Syatha’ adalah kakak dari Sayyid Abu Bakr Syatha’ yang merupakan pengarang kitab Hasyiyah I’anatut Tholibin yang terdiri dari 4 jilid. Jika kitab I’anatut Tholibin merupakan kitab fiqh legendaris dan mutakhir dalam dunia pesantren maka pengarangnya adalah alim-alimnya ulama sehingga beliau hanya mengajar kitab-kitab besar kepada muridnya. Suatu hari Sayyid Abu Bakr dikritik oleh kakaknya (Sayyid Umar) seperti ini kiranya “Kamu jika hanya mengajar kitab-kitab besar kelak muridmu akan bodoh. Mengkaji kitab besar itukan hanya untuk orang-orang pintar. Sedang tidak semua murid itu pintar. Mengaji itu yang penting hafal.” Lantaran hal tersebut Sayyid Umar Syatha’ memilih mengajar kitab kecil atau nadzam yang bisa dihafalkan seperti Jurumiyyah, Imrithy, Alfiyah, dan sejenisnya dengan menggunakan metode muhafadzoh/hafalan.
Lantas bagaimana caranya metode tersebut sampai hingga ke Indonesia?
Ternyata salah satu murid dari Sayyid Umar adalah Mbah Mad Sarang (KH Ahmad Syu’aib), kakeknya Mbah Moen (KH Maimoen Zubair) dari jalur ibu beliau yaitu Nyai Mahmudah. Setelah mengaji pada Sayyid Umar akhirnya Mbah Mad pulang ke tanah air tepatnya ke kampung halamannya (Sarang) dan melestarikan tradisi hafalan dari gurunya. Kemudian metode ini menyebar ke pondok-pondok kitab seperti Lirboyo, Ploso, dan lain sebagainya. Demikianlah sejarah asal muasal adanya tradisi hafalan di Indonesia yang bersumber dari ide Sayyid Umar Syatha’.
Menghafal nadzam itu istimewa. Kita beruntung diberi kesempatan untuk menjajal menghafal nadzam baik Jurumiyyah, Imrithy, maupun Alfiyah. Kita hebat bisa menghafalnya karena sejatinya nadzam-nadzam ini di negeri asalnya tidak dihafalkan. Universitas tertua di dunia pun (al-Azhar asy-Syarif) tidak mewajibkan mahasiswanya untuk menghafal, tapi di Indonesia, di Al-Luqmaniyyah telah berhasil melestarikan tradisi menghafal nadzam ini. (Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Al Alim Allamah Syekh Prof. Dr. Fathi Abdurrahman Hijazi Al Azhari An Naqsyabandy saat berkunjung ke Indonesia.)
Channel DDS. 2020, 26 Februari. Gus Baha’ ¦ Asal-Usul Tradisi Muhafadzah Pesantren di Indonesia [Video]. YouTube. https://youtu.be/bix63DJVfBs