[18 september 2012]
Abah Najib – Malam itu, tiga orang asyik bercanda. Menikmati mie rebus sisa dari ndalem. Sesekali keluar dari ucapan mereka, entah bola, kampus, maupun sekedar ngaji tadi sore. Aku duduk di teras rumah bambu, tempat kami ronda biasanya, ditemani dua buah laptop. Satu untukku, satu untuk temanku.
Malam itu tepat satu hari sebelum peringatan haul Abah yai. Udara dingin mulai merasuk kalbu, suasana hening pun terasa, huruf demi huruf mulai ku torehkan, meskipun tak seindah goresan pena. Dalam benak imajinasiku menerawang gelapnya malam. Satu persatu kuputar kembali memori satu tahun yang lalu, tahun yang indah, penuh harapan. “Cung, awakmu iku nang kene arep mondok nyambi kuliah, utawa kuliah nyambi mondok..?” ungkapan yang pertama kali hadir dalam lisan Abah yai. Untaian pita keharmonisan, hari nan hari abah yai tanamkan dalam sanubari kami, dan rekan-rekan santri. Dua bulan kiranya cukup. Mungkin yai terlalu sayang. Ataupun…? sudahlah.
Terungkap dalam linangan, saat itu Abah yai rawuh di masjid Desa Muria. Kebetulan memang, waktu subuh sudah menanti. Surban putih melilit punggung beliau, begitu dingin. Sejenak beliau sempatkan bercengkrama, karena memang gus masduq ada disitu. Jamaah subuh itu menjadi yang pertama, dan mungkin yang terakhir bersama Abah yai. Sempat sehabis sholat beliau minta di ambilkan hp. “Cung, jupukno hp nak mobil, kondho karo ahmad,.!” ungkap beliau. Tapi kenapa itu menjadi perintah beliau yang terakhir..? padahal jauh sebelumnya, ingin dan selalu ingin di dawuhi abah.
Malam Jum’at Legi
Malam murung, terdiam, hanyut dalam duka. Malam Jum’at legi, ratusan pasang mata meneteskan sesaknya. Menggenangi kelopak mata mengiringi tindaknya Abah yai Najib. Terharu dan seakan tidak percaya. Kiranya benar, perjuangan ada kalanya perlu istirahat. Dan itulah kebahagian yang Allah berikan kepada beliau. Memang, tanpa beliau seakan hampa, namun bukan berarti kita harus tenggelam dalam kesedihan. Masih banyak hikmah yang kita sia-siakan.
Gemuruh lalaran nadzom, keceriaan adik-adik TPA, desiran dzikir mujahadah, dan kemajemukan santri, bukankah itu bukti bahwa beliau masih setia menemani kita, hadir dalam nostalgia kehidupan Al-Luqmaniyyah…
كأن أخلاقك فى لطفها * ورقة فيها نسيم الصباح
Sungguh kelembutan dan kelunakan perangaimu bagaikan udara sejuk di pagi hari. hari ini, memori-memori indah itu terukir kembali, memantapkan senandung cinta dalam kalbu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan maghfiroh-Nya kepada beliau, Al Mukarrom Abah Kyai Haji Najib Salimi.. Aamiiin…..
oleh: Angga Rilitama, M.Sc.
Baca juga: PROFIL PONDOK PESANTREN AL LUQMANIYYAH
begitulah kehidupan. menceritakan tentang yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. goresan kenangan bukan hanya sebagai hiasan. namun harus selalu mengiringi setiap gerak tangan dan langkah kaki kita, selalu mengikuti apa yang telah beliau dawuhkan.
dawuh terahir Abah untukku adalah “kue poso ora nduk?” saat itu keitika aku di timbali kemudian di utus meminum seglas teh hangat. dangan malu malu aku menjawab. “ngih bah!”
beliau tersenyum dan “sipi! poso terus yo!”
dawuh terhir untukku, 3 hari sebelum ziarah.