SIFAT AMANAH MENGUNDANG KAROMAH

221
https://cdn-2.tstatic.net/sumsel/foto/bank/images/lambang-nahdlatul-ulama_20150905_174229.jpg

(Kisah K.H. As’ad muda di balik kiprah Nahdhatul Ulama)


Tanggal 31 Januari menjadi peringatan kelahiran Nahdhatul Ulama tiap tahunnya. Sejak didirikannya pada tahun 1926, tahun ini Nahdahtul Ulama genap berusia 1 abad kurang 4 tahun. Nahdhatul Ulama adalah jam’iyyah yang lahir sebagai hasil dari respon ulama mengenai keagamaan, kebangsaan, sosial masyarakat, dan peneguhan bermadzhab. Nahdahtul Ulama tidak dirumuskan secara singkat, melainkan melewati proses panjang dan pemikiran yang matang. Dalam proses perumusan tersebut, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (selanjutnya disebut Kyai Hasyim) menempuh shalat istikharah selama dua tahun untuk mendapat kepastian jawaban dari Allah SWT. Kemudian petunjuk yang dinanti datang melalui gurunya yang mulia yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan.


Ada kisah unik saat Syaikhona Kholil memerintahkan salah satu santri beliau yang bernama K.H. As’ad Samsul Arifin Situbondo (selanjutnya disebut Kyai As’ad) untuk menyampaikan pesan kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pesan tersebut disampaikan melalui sebuah tongkat dan ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan mukjizat Nabi Musa AS. Kyai As’ad muda berjalan dengan bertumpuan pada tongkat seperti halnya orang tua. Sebagian masyarakat yang melihat beliau menganggap tidak waras karena masih muda tapi jalannya menggunakan tongkat. Tanpa menghiraukan cuitan manusia disekitarnya, beliau tetap teguh berjalan dengan penuh keyakinan dan kehati-hatian membawa amanah yang besar. Sesampainya di kediaman Kyai Hasyim beliau menyampiakan maksud kedatangannya persis seperti yang dikehendaki Syaikhona Kholil.
Kisah berlanjut saat kali kedua Syaikhona Kholil memerintahkan Kyai As’ad muda kembali datang ke kediaman Kyai Hasyim. Kali ini Kyai As’ad diamanahi untuk memberikan seuntai tasbih beserta untaian lafadz “Ya Jabbar, Ya Qahhar”. Tanpa ragu beliau menerima mandat tersebut dan meminta Syaikhona Kholil untuk mengalungkan tasbih ke lehernya. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir tasbihnya terjatuh apabila diletakan dalam genggaman. Beliau berangkat sebagai seorang pemuda yang berkalung tasbih dengan membawa pesangon dari Syaikhona Kholil. Namun dalam perjalanan dari Madura hingga Tebuireng, beliau sama sekali tidak menggunakan pesangon tersebut. Selama perjalanan beliau tidak makan, minum ataupun singgah untuk istirahat. Beliau menganggap bahwa amanah gurunya adalah hal signifikan yang secepatnya harus disampaikan. Kyai As’ad menuturkan bahwa hal “tidak wajar” yang beliau alami merupakan salah satu karomahnya Syaikhona Kholil. Bahkan dikisahkan penjaga tiket tidak melihat sosok Kyai As’ad ketika dalam kendaraan sehingga beliau tak perlu membayar tumpangannya.
Ketika sampai tujuan beliau tidak lantas melepas tasbih tersebut, melainkaan meminta pada Kyai Hasyim untuk melepasnya. Kyai As’ad kemudian berkata “Sejak dikalungkannya tasbih ini, saya tidak berani memegang. Takut tidak sopan pada Kyai. Tasbih ini adalah titipan guru saya Syaikhonna Kholil untuk engkau wahai Kyai, tidak mungkin saya memegang barang yang diberikan untuk engkau dan bukan untuk saya”.


Kisah tadi menegaskan bahwa dibalik Jam’iyyah yang luhur terdapat manusia-manusia mulia yang berhati murni. Memperhatikan hal-hal kecil atas nama Allah SWT serta tunduk dan patuh kepada Gurunya. Kiranya kisah tersebut memberikan isyarat, bahwa amanah bukanlah sesuatu yang mudah dan sepele. Perlu penjagaan ketat dan keteguhan hati dalam mengembannya, serta dengan keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa menyaksikannya.

Editor: Ani Durotun Nafisa