Mewujudkan pesantren yang ramah anak-Maraknya kasus bullying ataupun perundungan dari senior ke junior di lingkungan pesantren belakangan ini telah mencoret citra pesantren sebagai tempat pendidikan agama islam yang mengedepankan nilai akhlakul karimah.
Sebagai santri, saya miris medengar kasus tentang adanya bullying di beberapa pesantren. Hingga kini, saya telah menempuh waktu kurang lebih selama 8 tahun hidup di dunia pesantren. Lantas bagaimana kesan saya selama 8 tahun tersebut? Jawabannya adalah sangat menyenangkan.
Bagi saya, pesantren adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta yang di dalamnya penuh dengan kasih sayang. Pesantren laksana rumah kedua bagi saya setelah rumah tempat saya lahir dan tumbuh berkembang.
Saat ini, sebagai santri yang juga mahasiswa, saya sangat merasakan betapa pesantren ini sangat penting untuk kontrol diri saya. Mengapa demikian? Sebagai anak yang telah beranjak dewasa dan hidup jauh dari orangtua, pesantren menjadi tameng bagi saya dari pergaulan bebas. Selain itu, dengan adanya peraturan-peraturan yang mengikat seperti tidak boleh keluar malam, juga menjadi kontrol bagi diri saya agar tidak keluyuran sembarangan.
Menggencarkan Kembali Pepatah “Menghormati orang yang lebih tua serta menyayangi orang yang lebih muda” di Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak-anak dan remaja yang di dalamnya mengedepankan nilai-nilai etika dan akhlakul karimah. Pesantren tidak hanya berfokus pada pengajaran agama, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara holistik. Isu bullying yang terjadi di pesantren belakangan ini menjadi salah satu tantangan besar yang harus diatasi oleh pesantren.
Bullying atau perundungan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dan berulang kali dengan tujuan menyakiti fisik atau mental orang lain. Di pesantren, fenomena bullying ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga psikologis. Bullying ini bisa saja terjadi karena adanya budaya senioritas yang masih kuat dalam beberapa pesantren.
Santri yang lebih senior kadang merasa lebih berkuasa sehingga berbuat semena-mena kepada santri yang baru masuk ataupun yang lebih muda usianya. Lantas bagaimana cara mengatasi hal tersebut? Langkah yang dapat pesantren lakukan salah satunya adalah dengan menggencarkan dan mengamalkan kembali pepatah “Menghormati orang yang lebih tua serta menyayangi orang yang lebih muda”. Dengan begitu, pesantren akan menjadi tempat yang penuh kasih sayang dan juga mengedepankan etika. Santri yang lebih tua akan menyayangi santri yang lebih muda, sedangkan santri yang lebih muda juga akan menghormati dan tidak bersikap kualat terhadap santri yang lebih tua.
Pesantren sebagai Rumah Kedua yang Nyaman
Menanamkan mindset bahwa pesantren merupakan rumah kedua yang nyaman juga bisa menjadi solusi dari sisi psikologis anak. Dengan persepsi bahwa pesantren merupakan tempat yang penuh kasih sayang, nyaman, aman, dan banyak teman, tentunya anak akan merasa betah dan kerasan ketika berada di dalam pesantren. Mereka akan hidup rukun dan saling tolong-menolong. Ada beberapa langkah yang bisa pesantren lakukan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu :
-
Edukasi tentang Bahaya Bullying
Langkah pertama adalah memberikan edukasi tentang bahaya bullying kepada seluruh komponen pesantren, baik itu santri, ustadz, maupun pengurus pesantren. Pesantren harus secara rutin menyelenggarakan sosialisasi dan diskusi terkait apa itu bullying, dampak buruknya, serta cara menghindari dan melaporkan jika terjadi tindakan perundungan. Materi tentang bullying bisa diselipkan dalam pelajaran agama, misalnya mengajarkan pentingnya menghormati dan saling menyayangi sesama manusia sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, harapannya santri bisa memahami bahwa bullying adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
-
Penguatan Peran Pengurus, Ustadz dan Pengasuh
Pengurus, Ustadz dan pengasuh di pesantren memiliki peran sentral dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah anak. Mereka harus menjadi figur yang dapat dipercaya oleh santri untuk melaporkan jika ada kasus bullying.
Untuk itu, pesantren perlu memberikan pelatihan khusus kepada pengurus, ustadz dan pengasuh agar mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang psikologi anak dan cara menangani kasus bullying dengan tepat.
Di sisi lain, pengurus, ustadz dan pengasuh juga harus mampu memberikan teladan dalam bersikap baik dan saling menghargai. Mereka perlu menunjukkan bahwa setiap santri, apapun latar belakangnya, berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan adil.
-
Sistem Pelaporan yang Aman dan Rahasia
Pesantren harus menyediakan sistem pelaporan yang aman dan bersifat rahasia bagi para santri yang mengalami atau menyaksikan bullying. Salah satu bentuknya bisa berupa kotak pengaduan atau hotline yang para santri dapat dengan mudah untuk mengaksesnya.
Pesantren berperan untuk menjamin bahwa setiap laporan yang masuk akan mendapatkan respon dengan serius dan cepat, tanpa menimbulkan rasa takut bagi pelapor. Dengan adanya sistem pelaporan yang jelas, santri akan merasa lebih aman dan berani untuk melaporkan kasus bullying yang mereka alami atau saksikan. Hal ini juga bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah kasus bullying berlanjut atau semakin parah.
-
Penguatan Kebijakan Anti-Bullying
Pesantren harus memiliki aturan yang jelas dan tegas terkait bullying. Kebijakan anti-bullying harus pengurus sosialisasikan sejak awal kepada seluruh santri dan menerapkannya secara konsisten. Aturan ini mencakup sanksi yang jelas bagi pelaku bullying serta program rehabilitasi untuk membantu pelaku menyadari kesalahannya dan memperbaiki perilakunya.
Selain itu, pesantren perlu melibatkan orang tua santri dalam penyusunan dan penerapan kebijakan ini. Pihak pengurus perlu memberikan pemahaman kepada orangtua santri bahwa mereka juga memiliki peran dalam mendidik anak untuk menghindari perilaku bullying. Orangtua berperan untuk ikut serta mendukung pesantren dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak.
Pesantren harus berusaha membangun lingkungan yang inklusif, di mana setiap santri merasa diterima apa adanya, tanpa memandang perbedaan suku, latar belakang ekonomi, atau kemampuan akademis.
Pesantren dapat mengadakan kegiatan bersama yang bertujuan untuk mempererat persaudaraan antar santri, seperti gotong royong, kegiatan olahraga, atau diskusi kelompok. Dengan adanya kegiatan semacam ini, santri akan lebih mengenal satu sama lain dan mengurangi potensi terjadinya bullying karena perbedaan.
#Sebuah opini dari seorang santri yang tidak mau disebutkan namanya 🙂