Ilmu nahwu merupakan ilmu yang lahir dengan perkembangan yang sangat luar biasa. Kaidah-kaidahnya terus bertambah sesuai penafsiran para ulama dengan menggali sumber-sumber dari ilmu nahwu itu sendiri. Berangkat dari beberapa kekeliruan dalam pelafalan orang Arab, Sayyidina Ali (khalifah) meminta Abu Aswad al-Duali mengkaji gramatikal serta membuatkan kaidah-kaidah bahasa arab. Kajian ini kemudian dinamakan sebagai ilmu nahwu. Seiring berjalannya waktu muncullah kaidah-kaidah lain yang banyak diikuti oleh para murid Abu Aswad Adhuali. Dalam perkembangan ilmu nahwu, mahzab Basrah dan Kuffah dikenal sebagai mazhab arus utama dalam ilmu nahwu serta dianggap sangat penting. Salah satu alasannya karena sejarah keseluruhan diskursus, perdebatan, dan teori-teori tentang nahwu berikutnya berasal dari perbedaan yang terjadi pada kedua mahzab tersebut. Dalam mahzab basrah terdapat imam Sibawaih, seorang pakar nahwu brilian yang menyusun buku fenomenal tentang nahwu berjudul Al-Kitab. Sedangkan salah satu pakar nahwu mazhab Kufah ialah imam Al-Kisa’i, beliau imam dalam Qira’ah Sab’ah.
Al Anbari dalam sebuah buku yang berjudul al-insaffi masa’il al khilaf bayna al-nahwiyin al-basriyin wa kufiyin, beliau menyebutkan serta menjelaskan bahwa terdapat 121 permasalahan ilmu nahwu yang diperdebatkan antara mahzab basrah dan kufah yang berkaian dengan al-amil, al-irab, dan al-bina, al-taqdim al-takhir, serta permasalahan nahwu lainya.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perbedaan antara mahzab basrah dan kufah terletak pada metodologi yang digunakan oleh keduanya. Mahzab basrah dalam menentukan suatu kaidah berdasarkan banyak contoh, mereka menganggap bahwa suatu dalil yang diambil dari contoh yang sedikit dianggap syaadz. Hal ini berlawanan dengan mahzab kufah yang lebih menganggap bahwa bahasa yang benar haruslah sebgaimana yang diriwayatkan oleh penuturnya betapapun syaadznya riwayat itu. Dalam cara merumuskan teori, mahzab basrah dan kufah terdapat perbedaan terkait sumber bahasa Arab yang dijadikan acuan.
Mazhab Basrah melakukan penelitian dengan hanya mengacu pada bahasa suku-suku yang masih asli dan belum terkontaminasi oleh bahasa asing. Adapun bagi mazhab Kufah, mereka mengakomodir bahasa Arab yang dituturkan oleh seluruh orang Arab, baik oleh suku asli maupun yang sudah ditinggal di perkotaan. Dengan demikin tidak mengherankan apabila dalam praktiknya kedua mahzab tersebut selalu mengedepankan pendekatan yang berbeda dan pada akhirnya menghasilkan pemikiran yang berbeda juga. Dalam hal ini, mahzab basrah terkenal dengan pendekatan ta’lil dan filasafi yang cenderung prespektif, sementara mahzab kufah terkenal dengan pendekatan riwayah yang cenderung deskriptif. Kecenderungan mahzab kufah terhadap penggunaan riwayah bukan tanpa alasan. Kufah dikenal sebagai daerah yang banyak didiami Sahabat nabi, disamping para ahli nahwu yang kebanyakan merupakan ahli qiraat, seperti Hamzah, Asim dan Kisa‟i. Dengan demikian, bagi mereka riwayat merupakan sesuatu yang lebih penting ketimbang penalaran filosofis.
Contoh lain yang menunjukkan perbedaan keduanya adalah mahzab kufah menyatakan bahwa maf’ul itu menjadi nashab karena adanya fi’il dan fa’il sebelumnya, sedangkan mahzab basrah cukup dengan fi’il, kedudukan nashab pada maf’ul bisa terjadi. Menurut Muhammad Al-Thanthawi, faktor lain yang menyebabkan perbedaan pandangan ilmu nahwu antara basrah dan kufah didukung oleh beberapa situasi antara lain, banyak warga bangsa arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa arab mengungsi di basrah, terutama dari Qais dan Tamim, adanya pasar ‘al-Mirbad’ di basrah dimana para sastrawan dan ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk beradu kemampuan dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya. Kemudian kufah membangun tradisi nahwunya sendiri yang berbeda dengan pendahulunya, yakni tradisi yang telah dikembangkan di basrah dengan mendasarkan kaidah bahasanya dari qabilah yang bahasanya tidak terlalu populer dan dikenal tidak fasih seperti Bani Asad.
Sumber : https://apipudinjubaedi.wordpress.com/2015/04/29/paradigma-ilmu-nahwu/