Pada suatu malam yang diisi dengan lantunan sholawat Simtuddurar dan mujahadah, terselip sebuah renungan yang sangat dalam, mengulas pernyataan seorang pemikir besar Islam, Ibnu Khaldun. Ia telah meletakkan dasar pemikiran sosial dan sejarah sejak abad ke-14.Beliau menyampaikan sebuah sinyalemen yang sangat relevan dengan kondisi umat Islam masa kini: “Umat Islam di akhir zaman tidak akan gentar ketika berhadapan dengan kekuatan fisik, tetapi akan bertekuk lutut ketika berhadapan dengan budaya.”
Ungkapan tersebut kini menjadi semakin nyata. Kita melihat umat Islam begitu solid dan siap ketika agama dan kesuciannya dinista secara fisik—misalnya ketika terjadi pembakaran Al-Qur’an di Eropa, umat Islam serentak bangkit dan mengecam keras. Namun, ketika harus berhadapan dengan budaya yang menggerus nilai, yang datang perlahan melalui media, tren, dan gaya hidup, umat justru tampak kewalahan.
Budaya: Karya Cipta Rasa Manusia yang Menggoda
Budaya adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Ia hadir dalam bentuk pakaian, tontonan, media sosial, hingga gaya berpikir. Perubahan zaman membawa transformasi besar-besaran, bukan hanya dalam teknologi, tetapi juga dalam cara manusia memandang hidup, termasuk dalam berpakaian, bergaul, dan beragama.
Contoh sederhana bisa kita lihat dari perubahan pola berpakaian generasi sekarang. Dulu, pakaian ketat atau minim dianggap tidak senonoh. Kini, justru menjadi tren, dan bahkan dijadikan ajang kebanggaan. Kaum muslimah pun banyak yang terbawa arus ini, memakai jilbab tapi berpakaian yang bertolak belakang dengan prinsip menutup aurat. Sebagian bahkan merasa bangga dan tidak merasa bersalah. Inilah yang disebut normalisasi budaya, yang berpotensi mengikis nilai-nilai agama secara perlahan.
Kecanggihan Zaman dan Goyangnya Keteguhan
Teknologi seperti AI (Artificial Intelligence) bahkan kini bisa menggambarkan surga dan neraka secara visual. Hal-hal yang dulu tidak terbayangkan kini menjadi konsumsi sehari-hari. Media sosial dipenuhi dengan konten yang membaurkan antara hiburan, dakwah, bahkan pelecehan terhadap nilai agama. Zaman ini adalah zaman di mana semua bisa diakses, tetapi tidak semua bisa difilter, terutama oleh generasi muda yang masih mencari jati diri.
Generasi yang Terlahir Bukan di Zaman Kita
Nabi Muhammad SAW telah mewanti-wanti umatnya:
“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zaman mereka, karena mereka dilahirkan bukan pada zamanmu.”
Ini adalah peringatan sekaligus tuntunan bagi para orang tua dan pendidik untuk mendidik dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual, bukan dengan cara-cara usang yang tak lagi cocok.
Dulu, duduk di atas bantal dianggap tak sopan. Kini, pertanyaan yang muncul adalah, “Apa hubungannya bantal dengan wudun?” Dulu, tidak menghabiskan makanan dianggap bisa membunuh ayam. Kini, logikanya justru dibalik: sisa makanan dipakai untuk pakan ayam. Zaman berubah, dan pendekatan pendidikan pun harus ikut berkembang.
Kearifan Jawa: “Sesuk ning Akhir Zaman”
Dalam tradisi lisan Jawa, terdapat sebuah ungkapan yang mencerminkan keresahan terhadap kemunduran nilai-nilai sosial dan spiritual di akhir zaman. Ungkapan tersebut berbunyi:
“Sesuk ning akhir zaman:
Kali ilang kedunge,
Pasar ilang gumenggrenge,
Wong lanang ilang kaprawirane,
Wong wedok ilang wirange.”
Ungkapan ini sarat makna simbolik dan dapat ditafsirkan sebagai berikut:
-
Kali Ilang Kedunge
Sungai hilang kedungnya.
Kedung adalah bagian terdalam dari sungai, tempat berkumpulnya berbagai sumber kehidupan seperti ikan, kepiting, dan hewan air tawar lainnya. Kehilangan kedung berarti sungai menjadi dangkal dan kehilangan daya dukungnya. Secara simbolis, ini menggambarkan bahwa di akhir zaman ilmu akan kehilangan sumber dan kedalamannya, karena para ulama – sebagai tempat bertanya dan rujukan umat – mulai menghilang. Ini merupakan isyarat tentang kemerosotan ilmu dan krisis kepemimpinan spiritual dalam masyarakat. -
Pasar Ilang Gumenggrenge
Pasar kehilangan suara riuhnya (gumenggreng).
Dahulu, pasar adalah tempat penuh dinamika sosial, dengan tawar-menawar dan interaksi hangat antarwarga. Namun di akhir zaman, suasana ini memudar. Relasi sosial menjadi dingin, interaksi manusia kehilangan kehangatan dan ketulusan. Hal ini dapat pula dimaknai sebagai simbol dari pudarnya solidaritas dan keharmonisan dalam masyarakat, tergantikan oleh individualisme dan kesibukan dunia digital. -
Wong Lanang Ilang Kaprawirane
Laki-laki kehilangan kaprawirane (jiwa kepemimpinannya).
Seorang laki-laki secara ideal digambarkan memiliki tanggung jawab, keberanian, dan ketegasan. Namun di akhir zaman, banyak laki-laki justru kehilangan sifat-sifat dasar ini. Mereka menjadi apatis, enggan memimpin, dan menghindari tanggung jawab. Perubahan ini menunjukkan krisis maskulinitas yang sejati: bukan karena kalah fisik, tetapi karena kehilangan prinsip dan nilai. -
Wong Wedok Ilang Wirange
Perempuan kehilangan wirange (rasa malunya).
Dalam budaya Jawa, malu adalah perhiasan batin bagi seorang perempuan. Hilangnya rasa malu menandakan rusaknya batas-batas moral dan akhlak. Perempuan tidak lagi merasa perlu menjaga kehormatan diri, baik dalam penampilan, ucapan, maupun perilaku. Ini adalah sinyal bahwa nilai-nilai mulia yang selama ini dijunjung tinggi mulai ditinggalkan.
Ungkapan ini bukan sekadar nasihat budaya, melainkan refleksi atas perubahan zaman yang begitu cepat dan seringkali menggerus nilai-nilai luhur. Dalam konteks kekinian, “Sesuk ning akhir zaman” menjadi peringatan agar masyarakat tidak kehilangan jati diri dan tetap menjaga nilai moral serta spiritual dalam menghadapi modernitas.
Kehidupan Beragama dan Fenomena Sosial
Banyak persoalan keagamaan hari ini yang justru menjadi polemik bukan karena dalilnya tidak jelas, tapi karena pemahaman yang setengah-setengah atau bahkan karena orientasi material dan pragmatisme. Contoh sederhana adalah soal hukum berkurban: apakah sapi besar boleh untuk delapan orang? Ustaz satu bilang haram, yang lain bilang boleh, tergantung sudut pandangnya. Ini mencerminkan minimnya kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan, yang seharusnya menjadi kekayaan umat Islam.
Contoh lainnya adalah munculnya polemik remeh seperti hukum “nyeplok endog sing durung dikumbah”, atau bertanya soal ternak kodok. Bukannya mencari kejelasan hukum, kadang yang dicari adalah keuntungan pribadi, bukan kejujuran ilmiah.
Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah: Solusi yang Tak Tergantikan
Di tengah kompleksitas zaman ini, umat Islam tidak boleh larut dalam arus budaya tanpa kontrol. Satu-satunya jalan untuk selamat dari derasnya arus perubahan ini adalah kembali kepada tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kompas utama yang bisa membedakan mana yang halal dan haram, benar dan salah.
Santri dan generasi muslim pada umumnya harus tetap memiliki pegangan prinsip yang kuat, tidak terombang-ambing oleh tren dan budaya yang bertentangan dengan nilai agama. Pendidikan agama harus diajarkan bukan hanya dalam bentuk hafalan, tapi juga dalam bentuk penghayatan dan penerapan dalam kehidupan nyata.
Sebuah Ajak untuk Sadar Zaman
Zaman terus berubah, budaya akan terus berkembang, tantangan akan semakin berat. Namun, selama umat Islam berpegang pada nilai wahyu, prinsip kebenaran, dan kesadaran zaman, maka mereka akan mampu menghadapi segala ujian, bukan hanya yang bersifat fisik, tapi juga yang sifatnya kultural.
Sebagaimana kata Ibnu Khaldun, jangan sampai kita kuat melawan musuh fisik, tetapi takluk oleh budaya yang perlahan merasuki jiwa dan mengikis keyakinan.
KH Hasan Asy’ari